Metode Penafsiran Dalam Hukum Pajak

metode penafsiran dalam hukum pajak

Dalam hukum pajak terdapat berbagai metode penafsiran, berikut penjelasannya:

1. Penafsiran Tata Bahasa atau Gramatika (Taalkundig)
Penafsiran tata bahasa adalah cara penafsiran berdasarkan bunyi kata-kata secara keseluruhan, dengan berpedoman pada arti kata-kata yang berhubungan satu sama lain, dalam kalimat-kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Arti perkataan itu semata-mata menurut tata bahasa atau kebiasaan, seperti arti dalam pemakaian sehari-hari. Pandangan para ahli hukum atas tafsiran gramatikal ini bervariasi. Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang paling utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, maka hakim tidak boleh lagi menggunakan cara-cara penafsiran lainnya sehingga menyimpang dari kata-kata undang-undang, meskipun maksud dari pembuat undang-undang tidak sama dengan arti kata-kata tersebut. Sebagian ahli hukum lain menyatakan bahwa penafsiran gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena arti kata-kata dalam undang-undang bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, penafsiran peraturan perpajakan sebaiknya dicari cara penafsiran mana yang paling tepat. Penafsiran secara tata bahasa (gramatika) merupakan penafsiran dasar atau awal untuk mengetahui maksud pembuat undangundang kemudian dilanjutkan dengan penafsiran otentik yakni menurut pembuat undang-undang sebagaimana tercantum dalam memori penjelasan, dan kemudian diteruskan ke penafsiran-penafsiran yang lain. Inilah pentingnya pembuat undang-undang untuk memilih kata-kata dalam menyusun suatu kalimat menjadi suatu aturan agar tidak menimbulkan salah pengertian bagi pembacanya.

Contoh penafsiran gramatika di dalam pelaksanaan hukum pajak, antara lain, ada pada ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU KUP yang menyatakan: “Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut. . .”. Redaksi kata “dapat” disini mengandung arti tidak harus atau tidak wajib, sehingga penerbitan Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tersebut bukan merupakan keharusan atau undang-undang mengamanahkan adanya alternatif selain bentuk SKPKB, dan itu harus dicari di dalam pasal-pasal yang ada.

2. Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang=undang dengan melihat pada apa yang telah dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Biasanya dalam suatu undang-undang terdapat suatu pasal mengenai ketentuan umum, biasanya ada pada Pasal 1, yang isinya menjelaskan arti atau maksud dari ketentuan yang telah diatur. Ketentuan umum demikian sering disebut dengan terminologi untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu. Terminologi inilah yang dimaksudkan dengan penafsiran otentik. Sedangkan penjelasan dari suatu pasal yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) bukan merupakan penafsiran otentik, tetapi hanya suatu penjelasan semata atas isi suatu pasal.

3. Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah penafsiran atas undang-undang dengan melihat pada sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Untuk dapat memahami penafsiran historis yang demikian, tentu hanya dapat diketahui dari dokumen-dokumen rapat pada waktu dibuatnya undang-undang, seperti draft RUU, risalah rapat para pembuat undang-undang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal, jawaban pemerintah kepada DPR, notulen sidang komisi, dan sebagainya. Dengan memahami dokumendokumen tersebut, maka akan diketahui asbabun nuzul dari suatu aturan perpajakan. Penafsiran menurut sejarah hukum juga dapat dilakukan dengan cara menyelidiki apakah suatu peraturan itu datangnya dari sistem hukum yang terdahulu. Sebagai contohnya adalah perkembangan pengertian “pembayaran dalam Masa Pajak dari Pajak Penghasilan“, dari mulai sebelum reformasi perpajakan dijalankan yaitu dengan “official assessment “ dimana pembayaran masa berarti “ angsuran terhadap Surat Ketetapan Pajak Sementara (SKP/s)” yang diterbitkan oleh fiskus, yang kemudian akan diperhitungkan didalam penetapan rampungnya (akhir tahun). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya model SKP/s tersebut dihapuskan dan diganti dengan cara Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang Lain (MPO), di sini pembayaran masa ditentukan sekian persen (misalnya 2%) dari jumlah peredaran selama satu bulan. Dan sekarang, setelah reformasi perpajakan 1983 sistem yang dianut adalah self assessment, dengan cara penentuan besarnya pembayaran masa yang berbeda.

4. Penafsiran Sistematik
Penafsiran sistematik adalah penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal dengan pasal yang lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkannya dengan pasal-pasal undang-undang yang lain. Penafsiran ini memperhatikan peraturan-peraturan lain yang terkait yang masih berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri dari undang-undang sampai dengan Keputusan Dirjen Pajak sebenarnya merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya. Salah satu contoh penafsiran ini adalah penafsiran dari pengertian “memenuhi persyaratan” dalam pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (4) UU KUP, haruslah dikaitkan pula dengan pengertian “keterangan tertulis” yang wajib diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (6). Artinya apabila atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak, maka sebenarnya tidak ada hak bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menanyakan kelengkapan persyaratan di dalam pengajuan keberatan.

5. Penafsiran Sosilogis (Teleologis)
Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat. Seperti diketahui bahwa kehidupan suatu masyarakat selalu berkembang, sedangkan undang-undang yang bentuknya tertulis tidak bisa selalu mengikuti kehidupan masyarakat yang selalu lebih cepat perkembangannya. Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian antara undang-undang yang sifatnya tertulis dengan perkembangan kehidupan suatu masyarakat. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisinya. Penafsiran sosiologis diharapkan dapat membentuk perilaku tertentu di masyarakat. Namun, jangan sampai Hakim badan peradilan pajak menafsirkan undang-undang secara subjektif sehingga justru menimbulkan ketidakadilan. Contoh: Syarat-syarat pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) KUP atau syarat banding sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) KUP, yang tidak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak yang buta huruf atau buta huruf latin, maka pegawai pajak yang menanganinya maupun Sekretaris Pengadilan Pajak harus bertindak seolah-olah sebagai panitera yang menuliskan maksud dari Wajib Pajak dan membacakannya sebelum Wajib Pajak memberikan cap jarinya.

6. Penafsiran Perbandingan
Penafsiran perbandingan adalah penafsiran dengan membandingkan antara ketentuan hukum yang lama dan ketentuan hukum yang berlaku saat ini, atau ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum asing. Contoh: Kebijaksanaan yang pernah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak pada akhir tahun 1980-an tentang penerimaan sumbangan dari Wajib Pajak apabila Surat Pemberitahuan Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar, sering disebut juga dengan istilah uang pembasuh batin. Ketentuan ini tidak dikenal dalam sistem self assessment sekarang ini.

7. Penafsiran Doktriner
Penafsiran doktriner adalah penafsiran dengan cara mengambil pendapat dari para ahli, khususnya ahli-ahli perpajakan dalam buku-buku karyanya. Penafsiran ini biasanya berupa pendapat para saksi ahli di dalam sidang peradilan pajak.

8. Penafsiran Analogis
Dalam pelaksanaan hukum, ada kalanya terjadi suatu kekosongan atau kevakuman hukum. Kekosongan hukum ini dapat diisi oleh Hakim dengan penafsiran analogis atau penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang-undang dengan cara memberi kiasan pada kata-kata yang tercantum dalam undang-undang. Penafsiran ini sama dengan penafsiran ekstensif (meluas) yang maksudnya memperluas suatu aturan sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk dalam suatu ketentuan menjadi termasuk dalam ketentuan yang ada berdasarkan analog yang dibuat. Penafsiran analogis ini tidak dipakai dalam undang-undang pajak karena dapat merugikan Wajib Pajak dan tidak adanya kepastian hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Aturan umum yang tidak ditulis dalam undang-undang pajak yang merupakan aturan yang bersifat khusus menjadi berlaku, padahal pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara harus diatur undang-undang.

9. Penafsiran A Contrario
Penafsiran A Contrario adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undangundang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan perlawanan pengertian itu ditarik suatu kesimpulan bahwa soal yang dihadapi itu tidak diatur dalam pasal undangundangnya, atau dengan kata lain soal yang dihadapi berada di luar ketentuan pasal suatu undang-undang. Contoh: Pada Pasal 4 Ayat (3) huruf g UU PPh menyatakan yang dikecualikan dari Objek PPh adalah iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disetujui oleh Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 jo PER-15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang sudah disahkan oleh Menteri Keuangan, tetapi tidak diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disahkan Menteri Keuangan. Jika menggunakan penafsiran secara a contrario, maka perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum atau tidak disahkan oleh Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan perpajakan atas premi asuransi, yaitu merupakan Objek PPh. Penafsiran A Contrario di dalam bidang hukum pajak tidak diperbolehkan karena merugikan Wajib Pajak dan menimbulkan ketidakpastian dalam hukum yang sudah jelas pengaturnya.

Itulah penjelasan macam-macam Metode Penafsiran dalam Hukum Pajak.
Semoga bermanfaat...

Macam-macam Sistem Pemungutan Pajak

macam-macam sistem pemungutan pajak
Sistem Pemungutan Pajak ada 4 macam yaitu:

1. Sistem Self Assessment
Berdasarkan sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yang tidak boleh diintervensi oleh pejabat pajak. Pejabat pajak hanya bersifat pasif dan wajib pajak bersifat aktif. Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan menyetor jumlah pajak yang terutang. Pejabat pajak tidak terlibat dalam penentuan jumlah pajak yang terutang sebagai beban yang dipikul oleh wajib pajak, melainkan hanya mengarahkan cara (memberikan bimbingan) bagaimana wajib pajak memenuhi kewajiban dan menjalankan hak berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan agar tidak terjadi pelanggaran hukum.

2. Sistem Official Assessment
Dalam sistem official assessment, terdapat campur tangan pejabat pajak dalam penentuan pajak yang terutang bagi wajib pajak. Yaitu berupa keterlibatan pejabat pajak dalam menerbitkan ketetapan pajak yang berisikan utang pajak dan bahkan dapat memuat sanksi hukum. Pajak yang terutang dalam ketetapan pajak merupakan inisiatif dari pejabat pajak berdasarkan objek pajak yang diterima, dimiliki, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak. Undang-Undang PBB merupakan contoh penerapan sistem official assessment di Indonesia, yang memberi kepercayaan kepada pejabat pajak untuk menentukan besarnya pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak terhadap objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkannya.

3. Sistem Semi Self Assessment
Menurut sistem semi self assessment, terdapat kerja sama antara wajib pajak dan pejabat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak kepada Negara. Pada awal tahun pajak, wajib pajak menetukan sendiri jumlah pajak yang terutang untuk tahun berjalan sebagai angsuran yang disetor sendiri. Kemudian pada akhir tahun pajak, ditentukan kembali oleh pejabat pajak jumlah pajak yang sebenarnya, berdasarkan data yang disampaikan oleh wajib pajak. Pejabat pajak, dalam hal ini, bertindak sebagai pengawas terhadap wajib pajak untuk menilai sejauh mana kejujurn wajib pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang. Sistem ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam penerapannya, bahkan dapat menimbulkan “kompromi pajak” antara wajib pajak dan pejabat pajak pada akhir tahun pajak sehingga akan beresiko tinggi pada peneriman Negara.

4. Sistem With Holding
Sistem with holding memberi kepercayaan kepada pihak ketiga untuk melakukan pemungutan pajak atas objek pajak yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Pihak ketiga ditempatkan sebagai pihak yang berwenang untuk memotong atau memungut pajak tertentu dan menyetor serta melaporkan kepada pejabat pajak. Pejabat pajak hanya berwenang melakukan kontrol atau pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan atau pemungutan pajak sampai kepada pelaporan pajak yang telah ditentukan. Pemotong atau pemungut pajak tidak boleh melakukan pelanggaran hukum dalam melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, termasuk dalam melakukan pelaporan pajak yang dipotong atau dipungut kepada pejabat pajak. Penerapan sistem with holding dalam Undang-undang Pajak dapat dilihat pada ketentuan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta dalam Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Materai, dan Bea Masuk dan Cukai.

PENGGOLONGAN JENIS PAJAK

penggolongan jenis pajak

Secara umum pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain:

1. Berdasarkan pihak yang menanggung, pajak terdiri dari dua macam pajak yaitu :
  • Pajak Langsung adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu. Contoh: PPh, PBB.
  • Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja. Contoh: Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai, dan Cukai.
2. Berdasarkan sifatnya, pajak terdiri dari dua macam, antara lain:
  • Pajak Subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Misalnya perhitungan Pajak Penghasilan, jumlah tanggungan dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
  • Pajak Obyektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan atau perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak memperhitungkan apakah wajib pajak tersebut memiliki tanggungan atau tidak.
3. Berdasarkan pihak yang memungut pajak, terdiri dari dua macam, antara lain :
  • Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan.
Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:
1) Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undangundang PPN. Perkembangan PPN di Indonesia dimulai dari:
         a. Pajak Peredaran yag diberlakukan tahun1950.
    b. Pajak Penjualan 1951 yang berdasarkan UU Darurat No. 19 Tahun 1951 dan dikukuhkan dengan UU No. 35 Tahun 1953. 
      c. Yang terakhir degan UU No. 8 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan tambahan terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000.
3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM untuk mengurangi efek regresivitas PPN. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:
- Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
- Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
- Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
- Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
- Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4) Bea Meterai
Pengenaan Bea Meterai berdasarkan pada Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2000. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
  • Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antara lain : 
1) Pajak Provinsi
     - Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
     - Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
     - Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
     - Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2) Pajak Kabupaten/Kota
     - Pajak Hotel,
     - Pajak Restoran,
     - Pajak Hiburan,
     - Pajak Reklame,
     - Pajak Penerangan Jalan,
     - Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
     - Pajak Parkir,
     - Retribusi Daerah,
     - Retribusi Jasa Umum,
     - Retribusi Jasa Usaha,
     - Retribusi Perizinan Tertentu

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2000. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya. Pelaksanaan Pajak penghasilan di Indonesia dimulai Tahun 1984 melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan tambahn terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008. UU No. 7 Tahun 1983 merupakan pengganti dari dua ketentuan undang-undang yakni Ordonansi Pajak Pendapatan dan Ordonansi Pajak Perseroan.

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA MEMBANDINGKAN TITIK BEKU LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA
Membandingkan Titik Beku
Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit


A.   Tujuan
Membandingkan titik beku larutan elektrolit dan nonelektrolit pada konsentrasi sama.

B.    Dasar Teori

Titik beku adalah suhu pada pelarut tertentu di mana terjadi perubahan wujud zat cair ke padat. Pada tekanan 1 atm, air membeku pada suhu 0 °C karena pada suhu itu tekanan uap air sama dengan tekanan uap es. Selisih antara titik beku pelarut dengan titik beku larutan disebut penurunan titik beku (Δ Tf = freezing point depression). Pada percobaan ini ditunjukkan bahwa penurunan titik beku tidak bergantung pada jenis zat terlarut, tetapi hanya pada konsentrasi partikel dalam larutan. Oleh karena itu, penurunan titik beku tergolong sifat koligatif.
Penurunan titik beku adalah selisih antara titik beku pelarut dan titik beku larutan dimana titik beku larutan lebih rendah dari titik beku pelarut. Titik beku pelarut murni seperti yang kita tahu adalah 00C. dengan adanya zat terlarut misalnya saja gula yang ditambahkan ke dalam air maka titik beku larutan ini tidak akan sama dengan 0oC melainkan akan menjadi lebih rendah di bawah 0oC itulah penyebab terjadinya penurunan titik beku yaitu oleh masuknya suatu zat terlarut atau dengan kata lain cairan tersebut menjadi tidak murni, maka akibatnya titik bekunya berubah (nilai titik beku akan berkurang).
Sifat koligatif larutan adalah sifat larutan yang tidak tergantung pada macamnya zat terlarut tetapi semata-mata hanya ditentukan oleh banyaknya zat terlarut (konsentrasi zat terlarut).
Apabila suatu pelarut ditambah dengan sedikit zat terlarut (Gambar 6.2), maka akan didapat suatu larutan yang mengalami:
1. Penurunan tekanan uap jenuh
2. Kenaikan titik didih
3. Penurunan titik beku
4. Tekanan osmosis
Banyaknya partikel dalam larutan ditentukan oleh konsentrasi larutan dan sifat Larutan itu sendiri. Jumlah partikel dalam larutan non elektrolit tidak sama dengan jumlah partikel dalam larutan elektrolit, walaupun konsentrasi keduanya sama. Hal ini dikarenakan larutan elektrolit terurai menjadi ion-ionnya, sedangkan larutan non elektrolit tidak terurai menjadi ion-ion. Dengan demikian sifat koligatif larutan dibedakan atas sifat koligatif larutan non elektrolit dan sifat koligatif larutan elektrolit.

Adanya partikel zat terlarut yang tidak mudah menguap dalam larutan dapat mengurangi kemampuan zat pelarut untuk menguap, sehingga tekanan uap larutan lebih rendah daripada tekanan uap pelarut murni. Adanya partikel zat terlarut tersebut juga akan mengakibatkan kanaikan titik didih dan penurunan titik beku larutan. Menurut hokum Roult, besarnya penurunan tekanan uap larutan, kenaikan titik didih, dan penurunan titik beku larutan yang mengandung zat terlarut tidak mudah menguap dan tidak mengalami disosiasi (larutan non elektrolit), sebanding dengan banyaknya partikel zat terlarut. Besarnya kenaikan titik didih larutan 1 molal disebut kenaikan titik didih molal, Kb. Sedangkan besarnya penurunan titik beku larutan 1 molal disebut penurunan titik beku molal, Kf. Untuk larutan encer berlaku:
ΔTb = m x Kb
ΔTf = m x Kf
Dengan : ΔTb = Kenaikan titik didih larutan
ΔTf = Penurunan titik beku larutan
Kb = kanaikan titik didih molal
Kf = penurunan titik beku molal
M = Molalitas larutan
Besarnya molalitas larutan yang sejenis sebanding dengan massa zat terlarut dan berbanding dengan massa molekul zat terlarut. Jika massa zat terlarut dan massa zat pelarut diketahui, maka massa molekul zat terlarut dapat ditentukan berdasarkan sifat koligatif suatu larutan.
Untuk larutan yang mengandung zat terlarut tidak mudah menguap dan dapat mengalami disosiasi (larutan elektrolit), besarnya penurunan tekanan uap larutan, kenaikan titik didih, dan penurunan titik beku larutan, dipengaruhi oleh derajad disosiasi larutan. 
Dalam dasar teori ini akan sedikit membahas tentang sifat koligatif larutan, khususnya larutan elektrolit dan larutan nonelektrolit. Zat elektrolit sebagian atau seluruhnya terurai menjadi ion-ion. Untuk konsentrasi yang sama, larutan elektrolit mengandung jumlah partikel lebih banyak daripada larutan nonelektrolit. Beberapa persyaratan yang perlu diketahui adalah:
     1.    Larutan berkonsentrasi sama, khususnya elektrolit memiliki harga P, Tf, dan Tb yang lebih besar daripada larutan nonelektrolit.
       2.     Harga P,Tf, dan Tb makin besar dan makin banyaknya ion pada elektrolit.
      3.    Untuk larutan berkonsentrasi tidak sama, memiliki harga (n x konsentrasi) paling besar akan memiliki harga P, Tf, dan Tb yang juga paling besar. Larutan nonelektrolit : n=1, Larutan elektrolit : n= banyaknya ion.

Rumus yang sering dipakai untuk menentukan Tb adalah :       
Tb= Kb . m. I
Rumus penurunan titik beku elektrolit :
T= m. Kf.i
Rumus penurunan titik beku non elektrolit :
T= m. Kf


C.   Alat dan Bahan
·      Alat :
1.        Gelas kimia
2.        Tabung reaksi
3.        Pengaduk kaca
4.        Termometer
·      Bahan :
1.       Es batu
2.       Garam dapur padat
3.       Larutan CO(NH2)2
4.       Larutan NaCl.

D.   Langkah kerja
1.       Masukkan pecahan kecil-kecil es batu dalam gelas kimia hingga ¾ dan beri 10 sendok garam dapur padat, aduk hingga rata!
2.       Masukkan 5 ml larutan urea (CO(NH2)2) 1 molal pada tabung reaksi kemudian, masukkan tabung reaksi tersebut ke dalam gelas kimia yang berisi pecahan es.
3.       Aduklah larutan urea tersebut hingga membeku.
4.       Keluarkan tabung reaksi dari gelas kimia dan ganti pengaduk dengan termometer.
5.       Ukur suhu konstan dari urea tersebut dan catat sebagai titik beku larutan.
6.       Ulangi langkah 1-5 untuk larutan lainnya.

E.    Hasil Kerja

No
Zat terlarut
Titik Beku (˚C)
Penurunan Titik Beku (˚C)
1.
CO(NH2)2 0,2 molal
0˚C
0˚C
2.
CO(NH2)2 0,5 molal
-1˚C
1˚C
3.
NaCl 0,2 molal
-1˚C
1˚C
4.
NaCl 0,2 molal
-3˚C
3˚C

F.    Pembahasan


Tf CO(NH2)2 0,2 molal = 0- Tf
                                    = 0-0
                                         = 0 ˚C
Tf CO(NH2)2 0,5 molal = 0- Tf
                                     = 0- (-1)
                                     = 1 ˚C
Tf NaCl 0,2 molal = 0- Tf
                             = 0- (-1)
                             = 1 ˚C
Tf NaCl 0,5 molal = 0- Tf
                             = 0- (-3)
                             = 3 ˚C


G.   Permasalahan

1.        Bagaimana pengaruh konsentrasi terhadap titik beku larutan ?
2.        Jelaskan perbedaan antara titik beku larutan elektrolit dan nonelektrolit ?
3.        Faktor apa saja yang mempengaruhi titik beku larutan ?

H.   Penyelesaian

  1.       Semakin tinggi konsentrasi suatu larutan maka semakin rendah suhu titik bekunya. Maka semakin       rendah titik beku semakin tinggi penurunan titik beku.  Penurunan titik beku ini sebanding dengan konsentrasi zat terlarut. Bila konsentrasi zat terlarut semakin besar, maka penurunan titik beku semakin besar, dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena adanya partikel– partikel zat terlarut di antara molekul – molekul pelarut mengurangi kemampuan molekul – molekul pelarut berubah dari fase cair ke fase padat
            2.  Perbedaan antara titik beku larutan elektrolit dan nonelektrolit :
a)     Larutan elektrolit memiliki harga ΔTf  yang lebih besar dari pada larutan non    elektrolit
b)     Penurunan titik beku larutan elektrolit lebih tinggi daripada larutan nonelektrolit.
c)      Larutan elektrolit mengandung jumlah partikel lebih banyak daripada larutan non elektrolit
d)    Untuk larutan elektrolit penentuan harga ΔTf  harus dikalikan dengan faktor ionisasinya, sedangkan untuk larutan non elektrolit tidak

3.     Faktor – faktor yang mempengaruhi titik beku larutan adalah,
a.   Konsentrasi larutan
    Semakin besar konsentrasi zat terlarut dalam suatu larutan, maka semakin rendah titik beku larutan tersebut, dan semakin rendah konsentrasi zat terlarut dalam suatu larutan maka titik beku larutan akan semakin tinggi
b.  Keelektrolitan Larutan
Larutan elektrolit akan semakin sukar membeku (titik beku lebih rendah) daripada larutan non elektrolit.
c.   Jumlah partikel

I.      Teori Kesalahan
1. Dari pengamatan yang kami lakukan terjadi perbedaan hasil suhu dengan yang semestinya. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti :

  • * Kesalahan pada penggunaan termometer, setelah menggunakan, kami tidak mencucinya dengan air, sehingga suhu tidak dapat netral kembali.
  •       Kesalahan membaca angka-angka yang menunjukkan suhu pada termometer
  •       Es sudah meleleh dan tidak segera diganti.
  •       Waktu menunggu yang kurang lama
  •     Hal tersebutlah yang membuat penghitungan menjadi tidak sesuai dengan angka asli yang semestinya diharapkan.

J.     Kesimpulan
Perubahan titik beku larutan elektrolit dan nonelektrolit dipengaruhi oleh banyaknya ion yang terkandung dalam larutan tersebut  yang biasanya disebut konsentrasi zat terlarut. Semakin banyak ion yang dibutuhkan untuk membentuk titik beku atau semakin besar konsentrasi yang terkandung dalam larutan tersebut, maka penurunan titik beku juga semakin besar dan sebaliknya. Larutan elektrolit memiliki titik beku yang lebih rendah daripada larutan nonelektrolit.


LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA PENERAPAN SIFAT KOLIGATIF PADA PEMBUATAN ES KRIM

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA
Penerapan Sifat Koligatif Pada
Pembuatan Es Krim


A.   Tujuan
Mengetahui aplikasi sifat koligatif larutan pada proses pembuatan es krim.

B.    Dasar Teori
A.    Sifat Koligatif Larutan
Larutan merupakan campuran homogen antara dua atau lebih zat. Adanya interaksi antara zat terlarut dan pelarut dapat berakibat terjadinya perubahan sifat fisis dari komponen-komponen penyusun larutan tersebut. Salah satu sifat yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut adalah sifat koligatif larutan. Sifat koligatif larutan adalah sifat larutan yang hanya dipengaruhi oleh jumlah partikel zat terlarut di dalam larutan, dan tidak dipengaruhi oleh sifat dari zat terlarut.
Hukum Ralout merupakan dasar bagi empat sifat larutan encer yang disebut sifat koligatif (dari bahasa lain colligare, yang berarti “megumpul bersama”) sebab sifat-sifat itu tergantung pada efek kolektif jumlah partikel terlarut, bukannya pada sifat partikel yang terlibat. Keempat sifat itu ialah:
1.      Penurunan tekanan uap larutan relatif terhadap tekanan uap pelarut murni.
2.      Peningkatan titik didih.
3.      Penurunan titik beku.
4.      Gejala tekanan osmotik.

B.     Penurunan Titik Beku Larutan
Proses pembekuan suatu zat cair terjadi bila suhu diturunkan, sehingga jarak antar partikel sedemikian dekat satu sama lain dan akhirnya bekerja gaya tarik menarik antarmolekul yang sangat kuat. Adanya partikel-partikel dari zat terlarut akan mengakibatkan proses pergerakan molekul-molekul pelarut terhalang, akibatnya untuk dapat lebih mendekatkan jarak antarmolekul diperlukan suhu yang lebih rendah. Jadi titik beku larutan akan lebih rendah daripada titik beku pelarut murninya. Perbedaan titik beku akibat adanya partikel-partikel zat terlarut disebut penurunan titik beku (∆Tf). Penurunan titik beku larutan sebanding dengan hasil kali molalitas larutan dengan tetapan penurunan titik beku pelarut (Kf), dinyatakan dengan persamaan:
            ∆Tf = Km atau ∆Tf = K(n x 1000/p)
            Dimana:
∆T= penurunan titik beku
Kf   = tetapan penurunan titik beku molal
n    =  jumlah mol zat pelarut
p    = massa zat pelarut
Titik beku larutan merupakan titik beku pelarut murni dikurangi dengan penurunan titik bekunya atauTf = T- ∆Tf.

C.    Penyebab dan Definisi Penurunan Titik Beku Larutan
Air murni membeku pada suhu 0C, dengan adanya zat terlarut misalnya saja ditambahkan gula kedalam air tersebut maka titik beku larutan ini tidak akan sama dengan 0C, melainkan akan turun dibawah 0C, inilah yang dimaksud sebagai “penurunan titik beku”.
Jadi larutan akan memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut murninya. Sebagai contoh larutan garam dalam air akan memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut murninya yaitu air, atau larutan fenol dalam alkohol akan memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut murninya yaitu alkohol.
Contoh, air murni pada suhu 0C. pada suhu ini air berada pada kesetimbangan antara fasa cair dan fasa padat. Artinya kecepatan air berubah wujud dari cair ke padat atau sebaliknya adalah sama, sehingga bisa dikatakan fasa air dan fasa padat. Pada kondisi ini memiliki potensial kimia yang sama, atau dengan kata lain tingkat energi kedua fasa adalah sama.
Besarnya potensial kimia dipengaruhi oleh temperatur, jadi pada suhu tertentu potensial kimia fasa padat atau fasa cair akan lebih rendah daripada yang lain, fasa yang memiliki potensial kimia yang lebih rendah  secara energi lebih disukai, misalnya pada suhu 2C fasa cair memiliki potensial kimi yang lebih rendah dibanding fasa padat sehingga pada suhu ini maka air cenderung berada pada fasa cair, sebaliknya pada suhu -1C fasa padat memiliki potensial kimia yang lebih rendah sehigga pada suhu ini air cenderung berada pada fasa padat.
Apabila ke dalam air murni kita larutkan garam dan kemudian suhunya kita turunkan sedikit demi sedikit, maka dengan berjalannya waktu pendinginan maka perlahan-lahan sebagian larutan akan berubah menjadi fasa padat hingga pada suhu tertentu akan berubah menjadi fasa padat secara keseluruhan. Pada umumnya zat terlarut lebih suka berada pada fasa cair dibandingkan dengan fasa padat, akibatnya pada proses pendinginan berlangsung, larutan akan mempertahankan fasanya dalam keadaan cair, sebab secara energi larutan lebih suka berada pada fasa cair dibandingkan dengan fasa padat. Hal ini menyebabkan potensial kimia pelarut dalam fasa cair akan lebih rendah (turun) sedangkan potensial kimia pelarut dalam fasa padat tidak terpengaruh. Maka akan lebih banyak energi yang diperlukan untuk mengubah larutan menjadi fasa padat karena titik bekunya menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pelarut murninya. Inilah sebab mengapa adanya zat terlarut akan menurunkan titik beku larutannya. Rumus untuk mencari penurunan titik beku larutan adalah sebagai berikut:
Tf = K. m . i
Keterangan:
Tf   = penuruna titik beku
∆ m = molalilatis larutan
K   = tetapan konstanta titik beku larutan
Jangan lupa untuk menambahkan faktor Van Hoff pada rumus di atas apabila larutan yang ditanyakan adalah larutan elektrolit.

C.   Alat dan Bahan
·      Alat :
1.     Kaleng
2.     Sendok pengaduk
3.     Wadah ukuran besar
4.     Kompor

·      Bahan :
          1.     2 sachet susu bubuk coklat
          2.     750 ml air
          3.     1 sendok teh vanili
          4.     2 sendok makan gula pasir
          5.     Garam krosok
          6.     Es batu


D.   Langkah kerja
1.   Pertama-tama campur dan aduk semua bahan susu dan air sambil dipanaskan diatas api kecil.
2.  Setelah itu sambil tetap mengaduk, campurkan dengan gula dan vanili, aduk hingga merata.
3.   Rebus adonan sambil terus diaduk-aduk hingga mendidih.
4.  Angkat adonan dari atas api sambil terus diaduk hingga dingin agar adonan tidak    menggumpal.
5.   Letakkan adonan di dalam kaleng yang sedang
6.   Letakkan es batu dan garam ke dalam wadah ukuran besar.
           7.     Letakkan kaleng yang sedang di tengah wadah ukuran besar yang dikelilingi es batu
8.   Tutup kaleng yang sedang dengan penutup, dan putar-putar kaleng tersebut
9.   Putar kaleng tersebut hingga adonannya menjadi es krim

E.    Hasil Kerja dan Pembahasan

Adonan es krim ditempatkan dalan bejana yang terendam es batu dan air yang telah diberi garam dapur sambil diputar-putar untuk memperoleh suhu yang lebih rendah dari 0C.
Proses tersebut mengakibatkan adonan es krim membeku dengan titik beku es beberapa derajat dibawah titik beku air murni. Hal ini terjadi karena proses perpindahan kalor dari adonan es krim ke dalam campuran es batu, air dan garam dapur.
Temperatur normal campuran es dan air adalah 0C. akan tetapi itu tidak cukup dingin untuk membekukan es krim. Temperatur yang diperlukan untuk membekukan es krim adalah -3C atau lebih rendah. Untuk mencapai suhu tersebut perlu ditambahkan garam dalam proses pembekuan es krim. Sebenarnya banyak bahan kimia lain yang dapat digunakan tetapi garam relatif murah. Garam berfungsi menurunkan titik beku larutan. Ketika es diampur dengan garam, es mencair dan terlarut membentuk air garam serta menurunkan temperaturnya. Proses ini memerlukan panas dari luar. Campuran itu mendapatkan panas dari adonan es krim maka hasilnya adalah es krim padat dan lezat seperti yang diinginkan.
F.    Kesimpulan
1.  Temperatur normal campuran es dan air adalah 0oC akan tetapi tidak cukup dingin untuk membekukan es krim. Temperatur yang diperlukan untuk membekukan es krim adalah -3 oC atau lebih rendah. Untuk mencapai suhu tersebut perlu ditambahkan garam dalam proses pembuatan es krim. Garam berfungsi menurunkan titik beku larutan. Ketika es dicampur dengan garam, es mencair dan terlarut membentuk air garam serta menurunkan temperaturnya. Proses ini memerlukan panas dari luar. Campuran itu mendapatkan panas dari adonan es krim maka hasilnya adalah es krim padat sesuai keinginan.
2.  Sifat koligatif larutan adalah sifat larutan yang hanya bergantung pada jumlah partikel zat terlarut dalam larutan, dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut. Sifat Koligatif larutan mencakup penurunan tekanan uap jeuh, kenaikan titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan osmosis.
3.  Perbedaan titik beku akibat adanya partikel-partikel zar terlarut disebut penurunan titik beku (∆Tf) .penuruna titik beku larutan sebanding dengan hasil kali molalitas larutan dengan tetapan penutrunan titik beku pelarut (Kf), dinyatakan dengan persamaan:

   ∆Tf = Km atau ∆Tf = K(n x 1000/p)


Contact Us

Name

Email *

Message *