CERPEN " HUJAN" KARYA SUTARDJI CALZOUM

HUJAN
Karya: Sutardji Calzoum

***
cerpen hujan karya Sutardji Calzoum

Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak lelap di kamar.“Alhamdulillah hujan,” bilang Ayesha sambil turun dari ranjang dan melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan.

Jika hujan datang, ia serasa kedatangan teman yang akrab. Tapi, Ayesha tak membukakan pintu bagi sahabatnya itu. Ia hanya menyibakkan gorden di ruang depan dan dari kaca jendela diamatinya hujan di halaman. Ia juga tak mengucapkan selamat datang. Buat apa, hujan selalu selamat. Kalau kata-kata semacam itu diucapkan bakal berlebihan, pikir Ayesha.

Bermula karena merajuk pada matahari, ia beranjak senang pada hujan. Itu ketika masih usia sekitar lima tahunan, ketika ikut-ikutan ibunya memindahkan anak tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk redam dibantai panas siang.

Kini, sudah lama ia tak benci matahari, tapi tetap saja ia lebih senang pada hujan. Dari hari ke hari, dari hujan ke hujan ia selalu semakin senang pada hujan. Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap ke luar. Guru mula-nula kesal, tapi akhirnya dibiarkan. Bagaimana pun, ia anak yang pintar. Ayesha selalu masuk dalam rangking terbaik di kelasnya.

Tidak sekedar senang pada hujan, kemudian ia pun bertanya-tanya sendiri tentang hujan. Bukan cuma butir-butir air yang mengucur di langit. Bukan hanya butir-butir runcing di ubun-ubun ketika orang lewat di jalan. Pastilah ada sesuatu yang lain dari hujan, begitu pikir Ayesha. Lantas, setiap hujan datang ia selalu menyapa, apakah hujan. Hujan menjawab dengan hujan. Dengan gemericik air, dengan gemertap di atap, dengan butir-butir dingin dan segar yang bersambungan sampai langit.
***
Kini, dalam jenjang usia enam belas, bagian-bagian tubuhnya elok membesar, bersama hati dan pikiran yang ikut berkembang. Dari hujan ke hujan, hujan semakin membukakan diri selapis-selapis padanya. Dan ia mulai semakin paham hujan. Lewat kaca jendela, ditatapnya hujan yang sedang membukakan makna. Butir-butir air lebat bersama angin menyibakkan dedaunan di halaman, dan pada dedaunan itu hujan menjadi dedaunan hujan. Deras hujan meniti-niti pagar dan pada pagar itu ia menjadi pagar hujan.

Lihatlah, hujan meloncat-loncat dari ranting ke ranting dan menjadi ranting hujan. Hujan pun berkisar dan mengusap-usap mawar, dan pada mawar itu menjadi mawar hujan. Lantas, pada buah jambu hujan menggelembung dan menjadi buah hujan.

Ayesha ingin memetik buah hujan tanpa menanggalkan jambu. Ia ingin meraih mawar hujan tanpa mengganggu mawar halaman. Ia ingin meniti dahan dan menyibak-nyibak ranting hujan tanpa mematahkan ranting dan membebani dahan itu. Ia ingin berjingkat pada pagar hujan tanpa menginjak besi pagar. Ia ingin, tapi ia tak mau membuka pintu melangkah ke luar dan masuk ke dalam hujan.

“Buat apa?bercakap-cakap dengan hujan, memetik hujan, bukanlah harus berhujan-hujan. Engkau memetik makna ucapan orang, tidaklah harus masuk ke mulut orang atau memetik lidahnya,” bilang Ayesha.
***
Dan ia pun kini paham, hujan di luar mengajak bangkit hujan yang di dalam dirinya. Nyanyi hujan di atap, lambaian hujan pada dedaunan, dan kaki-kaki hujan di halaman terus memanggil-manggil. Jangan engkau bilang bunyi hujan. Hujan bukan sekedar gertap di kaleng Khong Guan, misalnya. Bagi Ayesha, hujan adalah ucapan yang mendedah sastra, nyanyi, musik, atau tari. Lihatlah, hujan menyibak-nyibakkan tarian pada dedaunan dan melentun anggun pada dahan dan batang.

Terpagut pada tari hujan, Ayesha mulai bersijingkat ke tengah ruangan dan segera melangkahkan tarian. Bagai angsa mengarungi telaga, ia pun asyik melayarkan tari. Ah, tidak tepat benar seperti angsa. Angsa tak pernah basah dengan tarian, sedangkan Ayesha melulu basah dengan tarian. Namun, jika engkau cicip tengkuk atau sikunya, kau takkan merasakan asin keringat di sana. Arena yang basah itu hujan.

Ia telah menjadi hujan sekarang. Ia menderas dari pojok ke pojok ruangan menarikan hujan. Bila piroutte ia putarkan, hujanlah yang memutarkan. Sesaat ia tegak tenang, membuat batang hujan dari lekuk tubuhnya dan membiarkan rintik-rintik tari merajut-rajut rambut hujan di tengkuknya. Lantas, jari-jemari kakinya meniti-niti tari sambil membiarkan tempias tari di lantai. Maka, lantai ruangan ikut basah dengan tarian. Lihatlah, ia menekukkan lutut dan tangan anggun tarinya memetik kuncup hujan yang perlahan-lahan berkembang menjadi mawar hujan ke seluruh badan. Lalu, datanglah kupu-kupu hujan dari negeri yang jauh menangkup telinganya, membuahinya dengan rintik-rintik musik dari negeri kekal yang dekat sekaligus jauh.

Kini, Ayesha telah memiliki buah dan mawar hujan. Sekarang ia telah sampai pada kematangan hujan. Jika tarinya membelai mawar hujan, hujanlah yang membelaikannya. Bila ia memetik musik hujan, hujanlah yang memetikkan.
***
Dalam puncak hujan tarinya itu, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Ayesha tersentak, dan putuslah tarian. Ibunya pulang dari super market terperangah sesaat melihat lantai basah dan Ayesha yang tertegun bagaikan patung yang masih menangkap sisa hujan.

Ibu memandang langit-langit. Kering, tak ada basah di sana. Ia pun tersenyum, lantas ia letakkan plastik belanjaan di sofa dan pergi mengambil handuk di kamar.

“Rupanya engkau mengembara lagi, Ayesha,” ujarnya sambil mengelap tubuh anaknya yang masih terpancang diam dan menyimpan hujan. Dan gumpalan jari-jemari katun handuk itu perlahan-lahan mengembalikan Ayesha pada dunia yang kering kerontang.
***

CERPEN "SEPOTONG KAYU UNTUK TUHAN" KARYA KUNTOWIJOYO

Sepotong Kayu Untuk Tuhan
Oleh: Kuntowijoyo
Matahari sudah tinggi di pedusunan kecil itu, ketika lelaki tua terbaring di kursi panjang, di muka rumahnya. Ia berbuat demikian sejak pagi. Tak seorang pun akan menahannya berbuat itu! Isterinya tidak di rumah. Syukurlah aku bisa bikin anak! Dan anak itu bisa bikin cucu! Perempuan tua, isterinya, beberapa hari yang lalu mengatakan padanya, bahwa ia kangen setengah mati pada cucunya. Maka pergilah perempuan cerewet itu. Ia pergi dengan kereta terpagi kemarin.
Lelaki tua itu sendiri saja. Kalau tidak, tentu isterinya telah mencarinya, bila pagi-pagi dia berbaring saja macam sekarang. “Pergi pemalas!”, kata isterinya andaikata ia di rumah. Tetapi ia tak dirumah. Lelaki tua itu menjulurkan kaki sepuasnya, menyedot pipa sampai nafasnya terasa sesak. Sekaranglah ia benar-benar bebas. Seaptutnya ia pergunakan kebebasan itu untuk bermalas-malas: berbaring di kursi panjang menikmati langit, pohonan, dan kebunnya.
Rumah itu terletak dipinggir dusun, jauh dari tetangga. Tak seorang pun akan melihatnya berbaring sampai kapan pun. Dibelakang rumah adalah sungai kecil. Kebunnya melandai sampai menyentuh tepi sungai itu. Pohon-pohon meramaikan pekarangan. Alangkah berat kerjanya! kalau istri dirumah, dia akan disuruhnya membungkuk-bungkuk sepanjang kebun. Ada-ada saja. Kayu! Kayu habis! Alangkah kotor kebun kita! Ia harus bangkit cepat-cepat, kalau tidak ingin basah kuyup tubuhnya oleh siraman air istrinya. Kerja itu memang perlu, ia tahu. Hanya isterinya terlalu cerewet. Ia yang sudah seputih itu rambutnya masih saja dinilai sebagai pemalas. Persetan! Toh, istrinya tidak ada sekarang!.
Aku bukan pemalas, pikir lelaki tua itu. Aku anak cucu mereka yang suka kerja keras. Aku rajin, dari ujung kaki sampai ujung rambut! Ia menyedot rokok pipa dalam-dalam. Tapi buktikanlah, Kakek, tiba-tiba ia berpikir-pikir. Ya, berkata itu mudah. Bukti itu sulit. Namun ia tak tahu kerja apa yang dapat dikerjakan pada saat seperti ini. Katakanlah, misalnya kayu bakar. Kayu bakar telah bertumpuk di dapur. Ia sendiri menumpuknya. Atau menyapu halaman. Sia-sia saja, tak seorang pun akan melihat rumahnya. Rumahnya cukup terlindung dari mata orang.
Tiba-tiba ia bangkit. “Demi Tuhan!”, ia berseru. “Celakalah yang menyiakan waktu!”. Ia ingat. Meski berbuat sesuatu. Berbaring bermalasan bukan pekerjaan muslim yang baik. Ia sudah mendengar kabar, orang kampung sedang mendirikan surau baru. Banyak orang telah menyediakan bahan. Telah terkumpul kayu, genting, kapur. Anak-anak madrasah mencari batu dan pasir ke sungai. Pantashkah baginya, muslim seumur hidup untuk bermalasan? Tidak. Berbaktilah kamu dijalan Tuhan dengan harta dan jiwamu! Ia gelisah. Kalau istrinya dirumah ia bisa mufakat. Seluruh kekayaannya, yaitu uang untuk makan, semuanya ada pada istrinya. Padanya hanya tinggal bahan-bahan makanan secukupnya sampai istrinya pulang. Apakah yang akan disumbangkan untuk pembangunan rumah Tuhan itu? Apakah karena istrinya tidak dirumah ia akan melewatkan kesempatan beramal? Tentu saja tidak. lelaki tua itu pun berpikir. Sebenarnya, pikirannya bisa pula jernih, hanya kebiasaan mendapatkan damprat dari istrinya telah membuatnya takut berpikir. Berpikir itu menyusahkan bagi lelaki tua macam dia.
Jadi, ia berdiri. Melepaskan pandangan keseluruh alam-rumah dan pekarangannya itu disebutnya seluruh alam dan turun dari serambi. Panas matahari mempermainkan daun-daun yang lincah oleh angin. Sekali-sekali berkas sinar jatuh ke punggung, menyengat. Ia senang. Menikmati kebebasannya dengan berjalan berjingkat, melangkahi tanaman sayur. Istrinya akan mengumpat kalau ia dirumah. Selalu ia cerewet apabila dilihatnya ia berjalan disela tanaman sayur itu. Padahal dia sendirilah yang mengatur tanaman. Dibelakang rumah adalah sungai. Air yang mengalir tenang itu sangat mempesona. Mana ada kesempatan menjenguknya lama-lama kalau istrinya dirumah! Ia tak pernah jemu bermain disungai. Hanya karena larangan isterinya, ia tak lagi bersahabat dengan air. Nanti masuk angin. Juga ia tak lagi mengail. Mengail adalah kerja bagi pemalas. Kadang-kadang istrinya menyuruh dia mencari ikan bukan dengan kail, tetapi dengan jala.
Ia berhenti. Didepannya berdiri sebuah pohon nangka. Pohon itu telah mati. Kayu itu cukup besar. Tertanam dekat pinggir sungai. Pucuknya telah mengering, tidak ada selembar daun pun tinggal. Bagus! kayu ini pantas untuk pembangunan surau itu. Kayunya kuning mengkilat. Tidak lagi perlu cat atau pelitur. Pelitur, bolehlah, sedikit saja. Dan kayu itu akan ditebangnya sendiri. Mudah saja. Kayu dikapak sampai putus. Kulitnya dikupas. Didorong kesungai. Lewat sungai itu akan diangkutnya. Dari tepi sungai hanya perlu sebuah gerobak dorong untuk sampai ketempat surau itu dibangun.
Istrinya tak akan tahu semuanya. Sesudah dia pulang barulah tahu, pekerjaan apa yang telah dibuat oleh suaminya! Betapa senang ia nanti, seorang perempuan tua yang saleh. Kayu itu kita sumbangkan untuk pembangunan rumah Tuhan, istriku. Istri akan senang, memuji syukur. Pada saat-saat terakhir dari hidup mereka, masih sempat juga beramal.
Ya, dia sendirilah yang menanam pohon itu. Dia sendirilah yang menyiram dengan air sungai. Alangkah suburnya dulu. Ayahnya akan memerintahkannya memanjat apabil nangka itu telah berbuah masak. Kematian pohon itu tak perlu pula disesalkan. Pohon itu akan diletakkan disuatu tempat terhormat: Rumah Tuhan. Setiap hari akan disaksikan orang-orang memuji kebesaran Tuhan dan RasulNya. Itu akhir yang baik bagi sebuah kayu! Jauh lebih baik daripada masuk tungku. Apalagi tungku orang kafir, yang memasak rizki haram! Itu sudah wajar, pohon itu ditanamnya dulu dengan mengucapkan nama Tuhan lebih dulu. Sebuah pohon nangka yang ditanam dengan tangannya, dibesarkan dengan tangannya, dan ditebang dengan tangannya! Ia akan membuktikan dengan benda yang nyata, sekali dalam hidupnya dapat juga ia menyumbang untuk Tuhan.
Seharian itu ia merenungkan, apakah ia benar-benar akan sanggup menebang pohon itu dengan tangannya. Alangkah ebsar, ya, tidak dua kali keliling tangan, kalau selingkar tangan, ya  lebih. Menebang sendiri bisa juga, tetapi apakah tenaganya akan kuat? Mengupah orang, istrinya tidak meninggalkan uang sesen pun padanya. Hanya beras dan lauk secukupnya sampai istri itu pulang. Mengupah orang tak mungkin, apalagi memberi makan.
Melihat betapa besar pohon itu, ia mengurungkan niat untuk menebangnya sendiri. Ada cara! Dahan yang tak berguna baiklah diberikan pada penebang sebagai upah. Ia tak akan kehilangan apa pun kecuali kekotoran akibat tumpukan reranting dan dahan! Ia gembiram. Telah dibayangkannya dalam khayal. Isteri akan memuji-muji kebijaksanaannya itu. Amal yang demikian itu akan abadi. Pahalanya akan dihitung sampai bahan itu musnah. Seminggu lagi kalau ia dirumah akan diberitakan itu. Mula-mula akan diajaknya istrinya berkeliling kebun. Disuruh menerka pohon apa yang tidak ada. Nangka! Dan kemana pergi pohon itu? Tidak, istrinya tak akan tahu. Surau, istriku, rumah Tuhan! Ia akan tersenyum. Tidak, tak usahlah. Begitulah cara yang paling baik menyampaikan berita pada mbok cerewet itu.
Maka ia pun mencari tukang tebang. Dibuatnya perjanjian bahwa dahan-dahannya akan menajdi upah. Dan bersihlah pekarangannya. Tanah itu akan menjadi rata kembali. Penebang itu tahu maksud lelaki tua dan menolak untuk menerima upah, tetapi lelaki tua itu menerangkan, amal itu terletak dalam niat. Adapun kayu yang akan diperoleh, itu adalah sewajarnya dalam bertetangga.
Begitulah seorang laki-laki dengan ototnya yang besar-besar bekerja dipekarangan. Pagi sekali ia telah datang, menyiapkan kapak, tali-tali dan memanjat. Lelaki tua yang tidak bisa membantu apa pun. Ia tak bisa memanjat, lagipula istrinya memesan dia dengan sangat supaya dihindari memanjat sangat rendah sekalipun. Ia sendiri sadar, tangannya telah gemetar, tak bisa lagi kuat berpegang. Itu berbahaya, akan dapat mempersingkat umur. Ia melihat kulit penebang itu, kulit yang kecoklatan berkilau oleh matahari, suara kapak yang bergema. Seluruh alam mendengar. Barangkali malaikat Tuhan telah mencatat apa yang telah dikerjakannya hari itu. Setiap gaung kapak itu memberitakan pada lelaki tua akan amal yang dibuatnya. Tidak usah menyesal tidak dapat membantu-bantu. Orang pun tahu ia sudah tua. Cukuplah mengawasi. Hari pertama dari penebang itu dilaluinya tnapa dapat menyumbangkan tenaga.
Kayu itu akan membuatnya tersenyum pada hari kematiannya. Ketika itu boleh jadi tubuhnya telah hancur oleh tanah dikuburnya. Tetapi jelaslah, kayu itu masih akan tetap menjadi saksi, ia pernah hidup dan menyumbangkan sesuatu untuk surau. Tidak, bukan orang yang akan membuatnya senang, tetapi karena Tuhan sendiri melihat itu. Kalau saja mungkin ia akan menghindari penglihatan orang. Sebab, hanya Tuhan jugalah yang diinginkannya.
Disaksikannya ranting demi ranting jatuh dari pohon. Seperti itulah manusia. Satu per satu ia akan dikuburkan. Ranting jatuh itu masih pula dapat dipergunakan. Mereka dapat masuk api dan memberi panas pada dasar periuk atau memberi panas pada mereka yang kedinginan. Tetapi apa yang disumbangkan orang mati. Tidak satu pun. Bahkan orang akan menyusahkan tetangganya, karena orang-orang lain harus mengangkutnya ke kubur, memasukkannya keliang. Sesudahnya adalah tanggung jawabnya sendiri.
Hari berikutnya sudah mulai dapat membantu-bantu. Penebang itu sudah mulai menebang bagian bawah. Ranting-ranting sudah jatuh, berserakan. Sesungguhnya ia akan mengangkut kayu-kayu itu. Sekarang bolehlah kayu itu rebah dengan aman. Tak ada yang akan disangkutnya. Cabang-cabangnya telah bersih. Bisa saja sekarang, tergelimpang.
Dia pun ingin berbuat. Diingatnya ada kapak dirumah, kapak itu pertama-tama harus ditajamkan. Ya, ia mengeluarkan batu pengasah dan seember air. Aduh, tukang tebang itu melarangnya. Ia telah tua. Tetapi perlu diketahui bahwa untuk mengasah kapak dan memukul kapak itu pada pohon, bayi pun bisa dipercaya. Apalagi orang-orang tua! Keringatnya telah mengalir, ketika ia harus mengangkut air dari sumur. Dengan tenaganya dapatlah ia mempunyai sebuah kapak yang baik, mengkilat tajam, hanya besi tak terpatahkan oleh kapak semengkilat itu. Aduh celaka, penebang macam apa itu! Ia mengatakan kapak itu tidak akan mempan. Tentang kapak, penebang yang mana pun tak dapat mengalahkannya. Ia sudah merawat kapak-kapak sejak. Tak sangsi lagi, kapak itu pasti yang setajam-tajamnya didunia.
Itulah sebabnya ia berjuang keras melawan ketuaannya sendiri. Ia mengayunkan kapaknya keras-keras, sehingga badannya sendiri terguncang. Penebang itu merasa terganggu dan mengatakan padanya kalau bukannya kayu yang akan putus, hanya tubuhnya saja yang kehabisan tenaga. Lagi pula kapaknya tak mengena sasarannya. “Jangan kau pukulkan kapak itu lurus, Pak. Agak miring sedikit,” kata penebang itu. Ya, soal cara menebang bisalah dia memperbaiki. Tetapi untuk menghentikan pekerjaan itu, jangan berani. Ia buktikan lelaki tua bukannya pemalas yang selalu menggantungkan hidup pada orang lain. Pahala yang didapatnya mengantarkannya sampai akhirat. Dan, mana bisa istri akan mengumpatnya dengan: pemalas. Menyumbangkan pohon nangka kekuningan, bercahaya dalam sinar matahari. Dia akan dapat berkata tentang pohon nangka itu: itulah yang ditebang dengan tanganku.
Ia merasa telah bekerja dengan sangat keras, tak seorang pun menyuruhnya. Pada hari ketiga dari pekerjaan itu, ia bangun pagi-pagi. Betapa senang ia ketika penebang itu datang dan dia dapat menunjukkan hasil tebangannya. Kapak itu telah diayunkan begitu kuatnya, membuat bekas yang dalam. Penebang itu mengatakan, “kayu ini digigit nyamuk atau ditebang dengan kapak?” Tentu saja ia keliru, tidak pernah menghitung bahwa nyamuk tak sekalipun mau menggigit pohon nangka. Ya, tentu kapak! Penebang itu tersenyum: “Sudahlah, Kakek. Sudahlah, Bapak. Sudahlah, apalagi dikatakannya. Tidak, itu kayunya sendiri. Penebang itu memberi contoh padanya bagiamana menebang dengan cara yang betul. Dan alangkah besar bekas tebangan itu! Lelaki tua tersenyum,; “Itu karena kapakmu yang tajam! Dan tenagamu yang segar. Cobalah kalau kau sudah kerja sejak pagi!”
Mundur? Tidak, sekali-kali tidak. Istrinya akan benar kalau ia tak meneruskan kerjanya. Siapa pun yang mau bekerja bukannya pemalas. Jangan menilai seseorang dari hasilnya, tapi dari niatnya. Dan ia berniat menebang habis pohon nangka itu! Sesungguhnya perbuatna itu dihitung dari niatnya! Ia mengulang lagi dari niatnya. Cobalah ingat, ia mulai lebih pagi daripada penebang sebenarnya. Dan tenaganya pun lebih banyak keluar. Perkara keringat, itu karena penebang lebih banyak minum. Dan, apakah kerja diujur dengan banyaknya keringat yang keluar. Itu sungguh tidak jujur. Dapat saja keringat bercucuran tanpa bekerja.
Ia akan berusaha sungguh, supaya hanya Tuhan yang tahu kalau ia telah menyumbangkan kayu itu untuk surau. Maka ia pun berpesan pada penebang jangan membocorkan rahasia itu. Beramal baik ialah bila tangan kananmu mengeluarkan, tetapi bahkan tangan kirimu tak melihatnya! Tak perlu seorang pun tahu. Ia dan penebang itu telah berjanji supaya kayu itu datang dengan tiba-tiba saja dipembangunan surau seolah-olah datang dari langit. Alangkah bijaksana pikiran itu! Asal jangan ada perempuan cerewet yang disebut istri itu, pastilah akalnya menjadi jernih. Pada hari gelap yang tak seorang pun akan tahu, kayu itu akan terdampar disurau. Pada balok itu nanti dia akan menuliskan: Sepotong kayu untuk TUhan. Dengan arang saja, itu cukup baik. Kayu yang tiba-tiba datang itu akan membuat seluruh kampung terkejut. Dan siapakah orang yang berpikiran bahwa dialah penyumbang yang tak mau menyebut nama itu. Tidak seorang pun. Hanya Tuhan dan malaikatNya! Kebanggaan yang terpendam lebih baik dari kebanggaan yang terbuka. Kebanggaan yang terpendam membuat orang tertawa. Dan senyum lebih abadi dari tertawa.
Keinginannya supaya kayu itu cepat selesai tak tertahankan. Ia tak tahu lagi umurnya, berat badannya, jumlah tenaga yang dia punya atau yang telah dikeluarkannya. Ia melambung seperti dalam sebuah mimpi yang senikmatnya. Keringat mengalir dari kulitnya. Penebang itu menegurnya. Ah, masih perlukah dia diperingatkan apa-apa oleh siapa-siapa pada umurnya yang telah lanjut itu? Tidak. Istrinya atau penebang itu tak ada hak apa pun untuk mengingatkan dia. Pikirannya adalah satu-satunya pertimbangan. Kebaikan harus dikerjakan bagaimanapun akibatnya. Dia tahu apa yang bisa dan tak bisa dikerjakannya. Dan berhak sepenuhnya akan dirinya sendiri. Sayang, tubuhnya tak dapat mendukung kemauannya. Pada siang hari itu juga, keringat banyak mengalir dari tubuhnya. Dan, ia pingsan.
Ketika lelaki tua itu menyedari dirinya kembali, orang banyak berkerumun. Tidak, tak apa-apa. Maka lelaki tua itu mengusir mereka yang berkerumun. “Pergi tak adaada apa-apa. Hanya mengantuk sedikit, untuk apa kalian datang.” Mereka pun pulang.
Aduh, pastilah penebang itu telah membocorkan maksudnya itu pada mereka yang datang. Tidak, Kakek. Nah, itu baik. Rahasia itu akan bocor kalau Kakek bekerja lagi. Sebab ia akan jatuh pingsan lagi dan orang akan datang lagi. Dan menanyakan untuk apa kayu itu. Jadi, penebang itu menganjurkan untuk tidak lagi bekerja. O, ya. Siapa pun yang mengatakan, kalau perkataan itu bagus pantaslah dikerjakan.
Sejak saat itu ia tak menyentuh lagi kayu itu. Seluruhnya terserah pada penebangnya. Pohon itu tumbang. Penebang itu menjadikannya balok persegi panjang yang kuning keemasan. Tak perlu menyesal lagi tidak ikut mengerjakan. Ia sudah berusaha. Yang penting, sekarang, ialah merencakan segalanya. Itu perlu pemikiran seorang berpengalaman. Dialah orangnya yang harus memikirkan. Perkara mengangkat-angkat cukuplah pak penebang, itu memang kerjanya. Hanya sedikit kecewa, ia tak akan bisa mengatakan bahwa dia sendirilah yang telah merobohkan makhluk kuning itu. Biarlah, masih banyak yang akan dikerjakannya dengan kayu itu. Ada lagi, yaitu mendorong sampai tepi sungai dan menghanyutkan.
Lelaki tua itu bersepakat untuk menghanyutkan kayu itu pada sore hari setelah matahari tenggelam. Diseberang timur akan ditaruhnya kayu itu dna pagi-pagi sekali penebang itu akan membawa gerobak dorong. Pagi sekali, sehingga makhluk Tuhan sebangsa manusia tak akan melihatnya.
Sore hari, langit telah memerah dibagian barat. Awan tebal menutup matahari. Tetapi dari sela-selanya membersit cahaya merah yang berninar-binar menyerbu langit. Kedua orang itu berusaha menggulingkan kayu itu ketepi sungai. Dengan tongkat-tongkat besar dari kayu, mereka berdua mendorongnya. Goresan yang dalam, membekas-bekas pada tanah yang terlewat. Sebentar-sebentar akan terdengar teriakan dari mulut tua itu: Bagus! Setiap gerakan akan diberinya aba: Ana ini ning! Dorong! Nah, sangat bagus. Istirahatlah sebentar.
Matahari tidak ada lagi. Hanya kemerahannya masih tergambar dilangit. Maghrib, bisa ditunda sebentar. Keduanya mengikuti kayu itu. Masuk air. Taklah sulit bergaul dengan air sungai. Keduanya anak-anak desa yang bersahabat dengan air sejak Ibu mereka memandikanya yang pertama. Ada bayangan merah dalam air yang terguncang dan hilang. Air sungai itu ialah yang setenangnya yang pernah dia kenal. Agak dalam, membasah lebih sedikit dari perutnya. Balok kuning menghanyut dengan lena dipermukaan air. Tangan-tangna mereka menjaga arah. Arus dapat dengan mudah dihindarkan.
Bagian ini adalah tempat yang paling sepi dari dusun. Tak akan ada seorang pun melihatnya. Jauh disana terdengar suara riuh anak-anak. Tuhan, janga biarkan anak-anak itu sampai sungai! Sepotong kayu ini semata-mata untukMu. Aduh, mereka mendekat kesungai itu! Apa kerja mereka gelap macma ini kesungai, anak-anak tak tahu aturan! Dan, mereka berkerumun dipinggir, menonton. Mereka bertanya. Bah! Mereka mencopot pakaian, masuk ke air. Lelaki tua itu kebingungan. Anak-anak itu dibujuknya: “Sudah gelap macam ini, pulanglah.” “Kami akan naik kayu ini, Kek” Wah, anak-anak nakal! Air berkecipak kesana kemari. Kepala, rambut, telinga, dan sekujur badan tua itu tertampar air. Seperti air es, dinginnya? Anak-anak itu kegirangan. Ya, asal jangan bertanya untuk apa! Mengusir anak-anak? Tidak. Anak-anak itu naik baloknya. Kayu itu timbul tenggelam dalam air. Lelaki tua itu ingat, kenapa ia tidak ikut naik, toh bisa saja Pak Penebang itu disuruhnya mengatur arah dan dia naik. Kepinginnya seperti anak-anak itu ditahannya. Itu akan menertawakan. Anak-anak itu membasahi tubuhnya. maka, ia pun membalas mereka. Mereka membalasnya. Riuhlah sungai itu. Dalam gelap keramaian itu seperti suara-suara setan dalam gerumbul pohonan. Kecipak air mengalahkan suara malam: binatang-binatang entah dimana dalam tanah disela rerumputan menyembunyikan suaranya yang tenang dan terus-menerus. Suara-suara itu berseling dengan suara air dan teriakan anak-anak. Yang penting, ialah tetap membungkam pada anak-anak. “Bukan untukmu, Buyung, aku menebang pohon. Sebagai ganti jawaban, lelaki tua itu menakuti mereka dengan banjir”. Lihatlah, alangkah mendungnya. Terbawa banjir nanti, kalian. “Tak apalah, Kek. Kami ingin melihat laut”. Dasar anak-anak dusun nakal! Diingatnya, seperti itu jugalah masa kecilnya. Orang-orang tua adalah pemaaf-pemaaf. Ia menjadi senang dengan kehadiran anak-anak itu. Akhirnya anak-anak itu bosan juga. Mereka kembali ketepi, mengenakan pakaian, dan kabur dalam gelap pohonan.
Ketika itu tak ada cahaya merah pun di air dan dilangit, sampailah iringan itu kesebuah tempat, dekat dengan jalan ke desa-desa. Disitulah mereka aka berlabuh. Tidak terlalu sulit meminggirkan kayu itu. Untuk apa laki-laki kalau tidak bisa mengurus sepotong kayu! Mereka meminggirkan, diatas tanah berpasir itu mudah saja menarik dengan tali. Seperti kereta yang berjalan diatas tanah. Ya, kayu itu telah bergelimpang disana. Diatas pasir yang lembut. Selamat tinggal, kayu. Sampai besok pagi.
Menjelang malam, lelaki tua telah menyiapkan makan. Alangkah nikmat makan sesudah kerja keras. Dan lagi kegembiraannya yang besar. Siapakah yang menikmati makan dalam keadaan gembira. Pohon angka itu telah disana, dipinggir sungai. Makanlah selahapnya! Segera saja matanya mengantuk bukan main. Badannya dingin, segar. Enaknya tidur ialah dalam keadaan lelah. Segera saja tertidur: surau, balok kayu, penebang, istri, anak-anak, sungai. Ia tersenyum dalam pejam mata.
Inilah rencananya, yang sebentar diingatnya sebelum tetap yang pertama. Ia harus bangun pagi-pagi. Langsung saja ketepian sungai itu. Kemudian akan datang penebang dengan gerobak. Mereka akan mendorong gerobak itu bersama. Dan sebelum orang terbangun, kayu itu telah tersedia didepan gungukan tanah bakal surau itu. Tetapi hanya Tuhan dan malaikatNya yang akan dapat menjawab. Tidurlah.
Malam menjadi dingin. Udara lembab. Suara desir air sungai terdengar pelan. Ada suara-suara yang sangat dikenal: binatang-binatang malam di tanah, di rumputan, di air, di pohon, di udara. Pohon dusun merunduk dalam gelap. Makhluk inilah yang lebih banyak menggambarkan malam hari. Tenang dingin, daunan tertunduk. Seperti dunia ini adalah gundukan tanah dan tetumbuhan yang terlupakan. Tidak ada kehidupan diluar rumah.
Lelaki tua itu biasa bangun tepat pada waktu yang direncanakan. Orang tua dapat berbuat itu. Sarung dikerubutkan di tubuhnya, ia pun melangkah ke luar. Sesungguhnya tak akan ada yang melihat. Dia kenal betul dusunnya. Dengan mudah akan dicapainya pinggiran sungai itu. Kayu nangkaku, sebentar lagi, aku datang padamu.
Ada sebuah suara, apakah itu? Oh, kelontang gerobak. Sedikit kurang hati-hati penebang itu. Hati-hatilah, jangan dibangunkan orang. Kemudian dia senang setelah ternyata hanya sebentar gerobak itu terdengar. Dia masih juga menyesali itu, tapi tentulah bukan kesalahan pak penebang. Bagaimana pun hati-hatinya kau mendoorng, dibelokkan itu pasti berbunyi juga, banyak batu-batu menyembul dari tanah. Baiklah tidak ada suara-suara orang terbangun. Disini tempat masih akan sepi sampai orang bangun mengambil air ke kali, untuk mencuci atau mandi. Ya, lelaki tua itu sejak menjadi lebih tua, tidak lagi tahan air kali mengalir dingin ditubuhnya dalam udara pagi. Kalau dia kanak-kanak dan bukan lelaki tua, pasti dia akan merenangi sungai pagi itu.
Ia ingat istrinya. Juga andaikata dia dirumah menjelang subuh begini, dia akan membangunkannya. Sembahyang, pak muslim. Tuhan menunggumu. Panjangkanlah umurku, dalam ketuaan yang sehat. Pagi itu dia merasa sangat sehat. Sedikit pun tak ada dingin dalam tubuhnya. Itu berkat sarung, berangkali. Ya, tetapi juga, kegembiraannya menghilangkan rasa dingin dan segalanya! Lebih penting dari dingin adalah sepotong kayu.
Dia bayangkan bagaimana surau itu, dimana letak kayu dari pekarangan itu diletakkan. Tentu, orang akan suka lama-lama tinggal disurau. Kalau dipikir, tidak ada yang istimewa: Kayu itu tumbuh dari bumi Tuhan, dan sekarang kembali keapda Tuhan. Ketika itu dia masih kecil, bermain-main panjat diatas nangka. Alangkah baik dahan-dahan nangka itu dahulu untuk dipanjat. Sekarang, telah menjadi sebuah balok. Tentu kuningnya akan mengalahkan gelap malam.
Sementara orang kampung terkejut melihat kayu yang tiba-tiba datangnya itu, ia akan merokok pipanya di rumah. Lama-lama ia akan menghisapnya. Ya, kayu itu datang dari kebunku. Tetapi kalian tak boleh tahu. Kemudian kayu itu dipotong-potong jadi kecil. Atau, bukankah lebih baik digergaji besar-besar untuk tiang utama yang empat buah itu? Sesuka oranglah. Sebab, setelah kayu itu lepas dari tangannya, tak ada haknya lagi.
Kalaulah ia punya lebih banyak dari itu, akan dibawanya semua ke surau. Dipekarangannya hanya terdapat rumpun bambu dan sayuran. Seharusnyalah ia malu, hanya sedikit itulah yang dikembalikannya kepada Tuhan.
Tiba dijalan dekat pinggiran dusun, ia terus menuruni jalanan kesungai. Wah, nanti harus mendorong kayu itu lewat jalan menanjak macam itu. Ia banyak menyimpan tenaga setelah tidur yang lelap semalaman. Gerobak itu semakin dekat, menuruni juga jalanan ke sungai. Dia ingin lebih dulu sampai, itulah sebabnya ia cepat berjalan. Jelaslah yang akan dikerjakan. Menatap kayu itu sampai lama, sebagai ucapan selamat jalan. Dalam gelap dipinggir sungai seperti upacara terakhir pemberangkatan prajurit kemedan perang. Ataukah seperti penguburan. Aduh, tololnya, pelupa! Engkau lupa menyediakan arang untuk menulis alamat kepada siapa kayu itu diberikan. Tololnya! kembali? Itu lebih tolol lagi. Pelupa ialah yang sejelek-jeleknya orang! Patut, ia memukul-mukul kepalanya. Jangan keras, nanti pening, Pak. Biarlah.
Langit masih juga gelap sebentar lagi fajar. Itu subuh akan tiba. Tanah dikakinya agak dingin, ya dekat sungai, basah. Ia terus melangkah. Gerobak itu mendekat, dibelakangnya. Tiba pada bagian yang terbuka, inilah tepian sungai. Masih gelap matanya tak begitu terang. Ia mengusap matanya, mengusap sampai terang, tetapi masih juga gelap. Atau memang masih terlalu gelap. Ah, mata tua, mata tua.
Kayu itu tidak nampak. Dimana? Matanya! Pak Penebang itu datang. Agaknya telah terjadi sesuatu? Gerobak itu berhenti dekat pinggiran sungai. Kesinilah! Tetapi sulit sampai kepinggirnya. Tanah itu terlalu lunak. Dinginnya tnaah! Mana kayu itu? Haruskah mereka menanti fajar? Ya, baiklah begitu. Mereka pun berdiri saja dipinggiran sungai, tak nampak juga kayu itu. “Mana kayu itu, Pak Penebang?”. “Mana kayu itu, Kakek”.
Tidak ada lagi. Ketika cahaya fajar pertama datang dari celah langit, tahulah mereka kayu itu tak ada lagi. Ditepian sungai banyak sampah menambat. Dicari, dicari! Tidak usahlah. Jelas, telah banjir semalam. Kayu itu hanyut. Tuhan! Sampai kepadaMukah?

Lelaki tua berdiri. Penebang berdiri. Sesuatu telah hilang. “Tidak, tak ada yang hilang” kata lelaki tua itu. Pak Penebang mendorong kembali gerobak. “Kakek, kita pulang”. Lelaki tua itu berdiri sejenak lagi. Tersenyum. Sampai kepadaMukah, Tuhan?

CERPEN "JALAN ASMARADANA" KARYA KUNTOWIJOYO

CERPEN “JALAN ASMARADANA”
KARYA KUNTOWIJOYO

cerpen jalan asmaradana karya kuntuwijoyo

Ada tragic sense of life, ada comic sense of life. Mereka yang menganggap hidup sebagai tragedi, memandang dunia serba suram, diwakili oleh teman saya Nurhasan. Dia yang tinggi akan melonjok sedikit dan mencapai langit-langit kamar tamu rumah bertingkat yang kami banggakan, “Lha betul to, Perumnas itu ya begini. Tinggi setidaknya empat meter supaya ruangan sejuk.” Mengenai genteng dikatakannya, “Kok dari asbes. Mereka ingin semua penghuni Perumnas kena kanker.” Mengenai dunia dikatakannya-menirukan dalang. “Jaman sudah tua, perempuan jual badan, anak lahir tanpa bapak, orang suci dibenci, orang jahat diangkat, orang jujur hancur.” Melihat ada rumah mewah di Perumnas, dia akan bilang, “Lihat orang-orang kaya mendepak keluar orang-orang miskin.” Mendengar ngoèng-ngoèng mobil pejabat, dia akan berkomentar, “Dengar itu sang menteri korup lewat.”

Lain lagi teman saya Kaelani yang memandang hidup sebagai komedi, sebuah lelucon. Dia adalah pemborong: SD Inpres, jalan aspal, talud sungai. Di mana-mana: mantenan, tirakatan 17 Agustusan, katanya sambil ketawa, “Pemborong itu harus jadi pembohong.” Gedung retak, aspal mengelupas, tanah longsor, semua ditertawakannya. “Ya, kalau rusak diproyekkan. Semua senang, DPRD, kepala dinas, dan tentu saja pembohongnya, eh, pemborongnya”. Katanya lagi, “Pemborong itu masuk sorga tanpa dihisap.” Dihisap artinya dihitung baik-buruk amalnya. Sambungnya, “Apa sebab? Karena ia suka berbohong untuk menyenangkan orang.”

Akan tetapi, keduanya sangat lain dengan kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal di Jalan Belimbing (keluarga kami menyebutnya sebagai Jalan “Asmaradana”. Asmara artinya cinta, dana singkatan dari dahana artinya api). Itu adalah tragi-comedy yang mengganggu karier saya sebagai Ketua RT.

Mohon diketahui bahwa selepas tugas belajar saya tinggal di Perumnas, bagian perumahan dosen. Sebagai orang paling terpelajar, saya didaulat teman-teman jadi Ketua RT, menggantikan Pak Trono yang pindah. Tentu saja saya menolak dengan banyak alasan: sering tak di rumah, mengajar di sana-sini, pekerjaan kantor bermacam-macam, masyarakat besar membutuhkan tenaga saya. Tentu saja tidak saya katakan bahwa akan segera dipromosikan ke Jakarta.

“Bapak tidak usah repot, Ketua RT itu hanya kedudukan simbolis,” kata seorang pemondok dengan bahasa sekolahan. Dia sedang sekolah S2.

Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak. 
“Jangan khawatir, urusan RT adalah urusan bersama,” kata seseorang. 
“Gotong-royong kita sangat bagus.” 
“Kita masih punya semangat empat-lima.”
Setelah semua mendesak, kata saya, “Saya terima pekerjaan ini, dengan satu syarat. Ketua RT itu tugas kolektif keluarga. Saya dan istri. Kalau saya di rumah, saya akan aktif, kalau tidak, istri yang mengerjakan.”

Semua setuju. Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York. Sekali-sekali rapat bulanan RT saya pimpin, sekali-sekali istri saya. Test-case yang pertama-apakah doktor luar negeri bisa jadi Ketua RT-ialah mengurus perkara Pak Dwiyatmo dan Said Tuasikal. Mereka tinggal satu kupel, dinding dari asbes menyekat RS mereka yang masih asli itu. Pak Dwiyatmo adalah penghuni lama, Said dan istri menyewa rumah sebelahnya untuk lima tahun sampai selesainya program S3. Said berasal dari Ambon, dibiayai APBD untuk sekolah.

Pasangan Said orangnya baik. Said ikut ronda, dan istrinya ikut arisan. Dari poskamling dan arisan itulah warga tahu keluhan-keluhan mereka tentang Pak Dwiyatmo yang secara tidak sengaja dikatakan. Sebagai warga yang baik, mereka berdua datang untuk mengenalkan diri kepada Ketua RT yang baru secara formal. 
“Beta orang Ambon, istri beta orang Jawa.” 
“Dan anak Mas Said jadi Jambon. Itu warna pink, warna cinta.” Jadi ada Jadel, ada Jamin, ada Jambon. 
“Memang kami cinta Indonesia,” katanya serius, tidak tahu kalau saya hanya berkelakar. 
“Setidaknya kamu cinta perempuan Jawa.” 
“Bukan setiap perempuan Jawa, Bapak, tapi Jawa yang ini.” Terlihat istrinya menyikut suami.

Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampung. Tapi bunyi malam-malam itu! Dan Said berdua yang pasangan pengantin baru perlu malam yang sepi! Entah untuk apa.

Namun, wong sabrang yang biasanya thok-leh dan bernama Said itu, tak pernah menegur secara langsung Pak Dwiyatmo perihal kelakuannya. Istrinya melarang dia. Katanya, “Orang Jawa itu jalma limpat, dapat menangkap isyarat.” “Ya kalau iya, kalau tidak, bagaimana?” bantah suaminya. “Tunggu saja.” Mereka menunggu, tapi tiap larut malam thok-thok itu masih terdengar, membuyarkan harapan indah mereka di tempat tidur. Maka, perseteruan diam-diam itu berjalan terus.

Memang, para tetangga bilang kalau ada yang aneh pada Pak Dwiyatmo setelah istrinya meninggal. Dia, yang dulu rajin, tidak lagi ke masjid. Sebagian orang masjid mengatakan ia tidak qana-ah, artinya tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, itu sebabnya ia protes kepada-Nya (Allahumaghfirlahu, semoga Allah mengampuninya. Semoga dipanjangkan umurnya sehingga ia sempat bertaubat). Sebagian lain mengatakan bahwa ia selalu sembahyang di sungai dekat pemakaman Tegalboyo, sudah itu membuka bungkusan dan makan. Sebagian lagi mengatakan setiap Jumat ia pergi sembahyang di masjid Ploso Kuning. Ada yang mengatakan bahwa ke masjid di Perumnas akan melukai hatinya, sebab ia selalu pergi jamaah bersama istrinya dulu. Saya tidak tahu mana yang benar.

Pagi hari dia akan terlihat membawa cangkul. Kabarnya ia sudah memesan “rumah masa depan” di pekuburan Tegalboyo, di samping kuburan istrinya. Soal liang kubur itu urusan Pak Dwiyatmo, itu HAM. Dan saya sebagai Ketua RT tak pernah punya waktu untuk menegur Pak Dwiyatmo tentang thok-thok itu. Hari Minggu pun pagi-pagi sekali ia akan memikul cangkul, mengunci pintu, siang pulang, mengunci pintu, dan tidur sampai sore.

Paling mudah ialah mendatangi Said, “Mas Said, di Jawa ini orang perlu hidup rukun. Pandai menyesuaikan diri seperti kalian berdua. Ajur-ajer”. Tampak Said tidak tahu arah pembicaraan saya. Istrinya yang menjawab. 
“Orang sebelah itu pasti punya kelainan, Pak.” 
“O ya, Bapak. Suara-suara itu sungguh mengganggu!” timpal suaminya. 
“Ya pindah rumah, to. Kok sulit-sulit.” 
“Ininya, Bapak,” katanya sambil menggosokkan ibu jari ke telunjuk. 

Suatu pagi saya bersama istri jalan-jalan. Di pintu gerbang RT kami bertemu Said berdua, berdandan rapi. 
“Pagi-pagi sekali, dari mana?” 
“Aa Bapak ini bagaimana, Proyek Jambon, tentu”. 
“Lho, kok?” 
“Kami selalu ke hotel, tenang. Tapi tidak tahu sampai kapan kami tahan.”

Kami baru saja tahu apa yang dikerjakan Pak Dwiyatmo di malam hari. Pasalnya begini. Anak-anak Perumnas sedang main sembunyi-sembunyian. Kebetulan pintu rumah Pak Dwiyatmo terbuka, dia tertidur di kamar karena kelelahan mencangkul itu. Beberapa anak laki-laki masuk rumah dan bersembunyi di dalam meja-mejaan Pak Dwiyatmo yang ditutup dengan kayu. Aman. 
“Di mana kalian? Kami kalah.” 
Mereka membuka tutup meja-mejaan, “Sini!” Lalu menutupnya kembali. 
“Di mana?” 
“Sini!” 
Berulang-ulang. 

Tiba-tiba seorang mengerti arah suara itu. Lalu lari tunggang langgang sambil menjerit-jerit. Anak-anak dalam meja-mejaan itu keluar dan ikut lari dan menjerit-jerit. Orang-orang di gang itu pun keluar. Mereka pergi ke rumah Pak Dwiyatmo. Masya Allah! Keranda! Keranda! Suami-istri Said ikut keluar. Keranda! Sejak itu keluarga Said menghilang.

Beberapa hari kemudian Ketua RT dapat panggilan dari Pengadilan Negeri. Saya berhalangan, yang datang Bu RT alias istri saya. Di kantor pengadilan istri saya menunjukkan surat panggilan itu. 
“Panggilan itu untuk Ketua RT. Tidak bisa diwakilkan begitu saja.” 
“Saya penggantinya. Ini Surat Kuasa.” 
“Kalau begitu, tunggu.” Ia masuk ruangan. 
Ketua Pengadilan atau yang mewakili keluar. 
“Begini, Bu. Ini ada gugatan untuk Pak Dwiyatmo karena ia mengganggu ketertiban. Tolong diselesaikan dengan damai, tanpa melalui pengadilan.”

Melihat keranda itu rupanya Said atau istrinya jadi betul-betul tidak tahan. Pantas mereka kabur dan menggugat lewat pengadilan. Mereka berpikir bahwa paling-paling Ketua RT menyarankan agar mereka menyesuaikan diri, karena saya tidak juga menegur Pak Dwiyatmo. Saya merasa bersalah. Sungguh mati, saya tidak tahu kalau Pak Dwiyatmo sedang membuat keranda.

Saya sedang mencari waktu luang untuk bertemu Pak Dwiyatmo, ketika tiba-tiba ada perubahan besar. Masalah keranda yang sudah diketahui umum itu membuatnya berhenti bekerja sama sekali. Dia tidak lagi thok-thok di waktu malam, tidak lagi memanggul pacul di siang hari. Pekerjaannya ialah menyapu-nyapu halaman, lalu leyeh-leyeh di lincak di depan rumahnya.

Saya menghubungi Pascasarjana UGM dan mendapat alamat Said. Saya menghubungi Said, mengatakan bahwa tidak ada lagi gangguan ketertiban. Dengan malu-malu Said jadi warga RT kembali. Ketika minta maaf kepada saya karena telah merepotkan, dia membawa sebotol minyak kayu putih. 
Pak Dwiyatmo sedang menyapu-nyapu halaman ketika lewat seorang perempuan setengah baya. 
“Kok menyapu sendiri, Pak?” 
“He-eh, tidak ada yang disuruh.” 
Lain hari perempuan itu lewat lagi. 
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti lelah, lho.” 
“He-eh, habis bagaimana lagi.” 
Lain hari perempuan itu sengaja lewat. 
“Kok menyapu sendiri, Pak. Nanti kalau lelah yang mijiti siapa?” 
“Ya tidak ada.” 
Lain hari perempuan itu sengaja lewat lagi. Tangannya menggenggam balsem. Pak Dwiyatmo juga sedang menyapu. 
“Kok menyapu sendiri, Pak. Kalau lelah, apa mau saya pijit?” 
“Mau saja.”

Singkatnya, mereka berdua lalu pergi ke KUA untuk menikah. Mereka jalan-jalan bulan madu kedua ke Sarangan. Saya tahu karena suami-istri minta titip rumah pada Ketua RT. Tumben, ada keceriaan di wajah Pak Dwiyatmo yang selama ini belum pernah saya lihat. “Mau kuda-kudaan, ya?” maksudnya, naik kuda keliling danau. “Ah, Bapak ini kok tahu saja,” kata istri sambil menjawil suami. Sesudah mereka pergi, saya menemui Said. “Selamat, kamu bebas,” kata saya. “Terima kasih, Bapak,” kata Said. Istrinya senyum-senyum malu.

Damailah RT, damailah Indonesia! Seminggu kemudian Pak Dwiyatmo berdua pulang. Tapi, apa yang terjadi? Petugas Siskamling yang menjemput jimpitan beras mengatakan bahwa mereka mendengar suara “aneh” di rumah (tepatnya di kamar) Pak Dwiyatmo. Siang hari Pak Dwiyatmo menggergaji keranda itu dan menjadikannya meja-kursi. Ini saya tahu karena saya datang untuk mengunjungi mereka yang temanten baru. Saya juga tahu yang lain. Istri baru itu sedang memotong-motong kain putih calon kain kafan Pak Dwiyatmo. “Ya, itulah yang terjadi,” kata Pak Dwiyatmo membenarkan pikiran saya. Lho! Saya sembunyikan keheranan bahwa dia tahu pikiran saya.

Seminggu kemudian Said datang ke rumah. “Coba, Bapak. Kami sedang mau tidur, tiba-tiba dari kamar sebelah, kami mendengar suara-suara. Ah, beta malu mengatakannya.” Sementara itu, petugas Siskamling melaporkan bahwa suara “aneh” itu pindah ke kamar tamu yang berdempetan dengan kamar tidur di rumah sebelah. Klop!

Saya mencoba menyarankan Said untuk melapisi dinding-dinding dengan gipsum yang kedap suara. “Ala, Bapak ini bagaimana. Kalau beta kaya pasti sudah menyewa rumah di luar Perumnas”. Istrinya menyambung, “Maaf, kalau kata-kata suami saya menyinggung Bapak.” Saya usul, “Kalau begitu, bagaimana kalau kamar tamu diubah jadi tempat tidur?” Katanya, “Ya, besoknya lagi Bapak akan menyarankan kami tidur di halaman.” Lagi istrinya memintakan maaf suaminya. Kemudian lain hari keluarga Said pergi lagi, meninggalkan surat. “Tolong beri tahu beta kalau tetangga sebelah sudah dipanggil Allah.”

Lain dari biasanya, pagi-pagi saya dapat pergi berjamaah ke masjid. Di sana saya bertemu Pak Dwiyatmo. Subhanallah! Saya terkejut. Ia menoleh dan berkata, “Betul saya Dwiyatmo.” Katanya lagi, “Saya berdosa, saya khilaf, saya bertaubat.” Ia melanjutkan sambil sama-sama jalan pulang, “Orang hidup ini harus seperti iklan. Ia berenang-renang di laut, tapi tak pernah jadi asin.” Saya sedang berpikir mungkin sudah waktu untuk mencari Said dan minta dia kembali ke Jalan “Asmaradana”, ketika orang-orang Siskamling mengatakan bahwa suara-suara “aneh” itu berjalan terus. Itukah “berenang-renang”? Wallahualam. Saya mau menegur Pak Dwiyatmo, tetapi rasanya tidak pas. Menyuruh keduanya berunding untuk menyelesaikan perseteruan diam-diam itu, jangan-jangan malah jadi perseteruan terbuka. Jadi saya hanya bagaimana-bagaimana sendiri.

Walhasil, saya gagal jadi Ketua RT, gagal mendamaikan Pak Dwiyatmo dan Said. Saya, doktor ilmu politik berijazah luar negeri! Entah apa yang akan saya katakan pada Said kalau kebetulan ketemu di kampus. Saya juga menghindar setiap mau ketemu orang yang saya persangkakan dari Ambon, nyata atau khayalan, hidup atau mati, di mana saja. Saya sangat malu. Leiriza, Luhulima, Tuhuleley, Patirajawane, Raja Hitu, sepertinya semua berwajah Said Tuasikal.

Saya juga gagal memahami Pak Dwiyatmo. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar, dan mengajar. Tetapi, bahkan tentang tetangga saya, Pak Dwiyatmo, saya tidak tahu apa-apa. Pak Dwiyatmo, Pak Dwiyatmo. Manusia itu misteri bagi orang lain. 
Tiba-tiba saya merasa bodoh, sangat bodoh. 

CERPEN "RUMAH YANG TERBAKAR" KARYA KUNTOWIJOYO

RUMAH YANG TERBAKAR
Karya Kuntowijoyo



Ada dua pantangan yang tak boleh di langgar di dusun pinggir hutan itu. Kata orang, mahluk halus yang menunggu dusun, mbaurekso, akan marah bila ada yang berani menerjang larangan. Kemarahan tidak hanya ditimpakan pada pelanggarnya, tetapi pada seluruh warga. Tidak seorangpun, kecuali yang berani nyerempet-nyerempet bahaya melanggarnya. Itupun dengan resiko dikucilkan oleh penduduk. Pantangan pertama ialah orang tak boleh kawin dengan orang dari dusun di dekatnya, dusun yang terletak di sebelah utara pematang, meskipun secara administrative masuk dalam kelurahanyang sama. Kedua, orang tidak boleh mendirikan surau di dusun itu.


Pantangan pertama bisa dimengerti karena ada perbedaan pekerjaan. Di sebelah selatan adalah petani, sedang di sebelah utara adalah pedagang. Engkau tak akan berbahagia kawin dengan orang pelit, apa-apa dihitung, kata orang-orang tua. Pantangan yang kedua ada hubungannya dengan yang pertama. Dulu perbedaan pekerjaan itu telah menyebabkan perang antar desa. Karena itu orang selatan harus berbeda dengan orang utara dalam segala hal. Memakai bahasa sekarang, orang akan bilang “harus punya jati diri”. Kebetulan dusun di utara itu adalah dusun santri dan mau tidak mau orang selatan harus jadi abangan.


Demikianlah, untuk menyambut kelahiran bayi orang-orang utara akan slawatan dan orang selatan klenengan. Perbedaan itu dulu konon jadi serius katika Pak Jokaryo (orang arab akan menyebutnya Zakaria ) dari dusun itu tiba-tiba jadi santri. Dia ingin mendirikan surau di pekarangannya. Tentu saja itu membuat marah besar danyang dusun. Kabarnya umpamanya suatu hari sebuah tiang selesai dibangun, pagi harinya tiang itu sudah pindah ke tengah hutan. Kalau suatu hari dinding-dinding telah dibuat, pagi hari dinding akan terlihat di tepi sungai. Seseorang yang kesurupan danyang dusun mengatakan bahwa surau boleh dibangun, tetapi di luar desa, di tengah hutan yang wingit, tidak boleh ada mihrab, bangunan yang menonjol tempat imam itu, jadi seperti rumah biasa. Orang harus percaya bahwa yang nyurupi adalah danyang desa. Bagaimana tidak. Yang kerasukan itu adalah petani-petani, yang tidak pernah makan sekolahan, tidak tahu pa-bengkong-nya kraton, tapi bahasa jawa kawinya bagus, lengkap dengan sira (“engkau”) dan ingsun (“aku”). Jokaryo pun mengalah, dan membangun surau tidak di desa, tapi di tengah hutan. Sehabis maghrib mereka bertemu, bersama-sama berdzikir sampai malam. Semacam gerakan tarekat.

Rupanya tidak ada penerus Jokaryo, ketika dia meninggal surau itu dikosongkan. Kalau orang berkendaraan atau jalan melewati hutan itu orang akan melihat rumah dari kayu dan bamboo itu. Tetapi tentu saja rumah itu sudah berubah fungsi. Anak laki-laki Jokaryo ikut transmigrasi ke Kalimantan dan anak-anak perempuannya kawin, pindah desa. Di dusun itu tanah dan rumah yang ditinggalkan jadi milik dusun, dan siapa saja dapat memanfaatkan. Kira-kira selama lima belas tahun, rumah itu hanya dimanfaatkan untuk berteduh petani, pencari kayu, dan pejalan yang kelelahan. Ada gentong tempat air dan siwur untuk mengambil air. Malam hari orang yang lewat akan takut, sebab kata orang dusun rumah yang tak berpenghuni akan ditempati sebangsa lelembut, apalagi hutan itu dikenal keramat.
Rumah itu begitu telantar, genting-gentingnya pecah. Maka datanglah Bu Kasno sebagai penyelamat. Dia mengganti genting-genting yang pecah, kayu-kayu yang lapuk, dan dinding-dinding yang menganga. Beberapa dicatnya. Pendek kata, orang yang lewat dan tidak tahu riwayat akan mengira itu rumah baru. Kata orang Bu Kasno berbuat itu karena perewangannya mengatakan bahwa syaratnya menjadi kaya ialah memperbaiki rumah itu. Rumah itu dibuat ramai kembali oleh Bu Kasno. Mula-mula orang-orang dusun berterima kasih pada Bu Kasno. Tetapi, tidak semua orang bergembira dengan “kebaikan hati” Bu Kasno. Rumah itu jadi aib dusun! Sekaligus membuat dusun kecil itu terkenal!

Bagaimana tidak terkenal, Bu Kasno telah menyulap banguna tua di tengah hutan itu jadi tempat yang hidup di malam hari. Rumah itu telah menjadi semacam pulau kebebasan yang terlengkap di dunia: ada tempat minum-minum, ada bordil. Pikiran untuk menjadikan rumah itu sebagai tempat judi juga, selalu dibuang jauh oleh Bu Kasno karena ia segan berurusan dengan polisi. Kabarnya perewangan pun setuju dengan kebijakan Bu Kasno.

Orang-orang dusun itu terbagi tiga. Yang tidak setuju dengan Bu Kasno berpikir bahwa tidak nglakoni (“ menjalankan syariat”) itu boleh-boleh saja, tapi tidak ada caranya untuk pergi ke perempuan nakal. Itu tidak sesuai dengan ajaran adapt manapun, tidak cocok dengan agama manapun. Perempuan tiu boleh asal yang baik-baik perempuan rumahan masih ada, mosok cari yang murahan. Mereka yang setuju dengan Bu Kasno berpendapat bahwa ia telah menyuguhkan hiburan yang paling top di dunia. Orang jawa itu harus ja dan wa, harus nglegena artinya telanjang, apa adanya, sewajarnya, tidak boleh mengatakan tidak butuh padahal memerlukan. Petani harus jadi petani, jangan berpura-pura jadi santri, tidak ada gunanya pura-pura alim.

Minum dan perempuan itu tidak dilarang oleh undang-undang. Yang bisa dihukum itu memperkosa, tetapi tidak hubungan yang suka-sama-suka. Sebagian kecil orang, terutama yang di sekitar masjid (tidak ada yang tahu kenapa akhirnya yang mbaurekso pun mentolerir pembangunan mesjid), sangat tidak setuju dengan ulah Bu Kasno. Mereka berpendapat itu telah mencoreng muka sendiri.

Orang-orang desa pun bertambah maju. Mereka juga tahu tentang cara-cara modern untuk menikmati servis yang disediakan Bu kasno itu. Begini: mula-mula minum, lalu ngamar. Minum menjadikan badan panas dan orang yang paling pemalu pun akan jadi pemberani, hilang sekat-sekat. Jangan terbalik. Atau, kalau terang bulan, minum sekadarnya lalu ajak salah seorang penghuni untuk jalan-jalan di hutan. Dan disanalah rumah yang paling alami, mungkin sama seperti nenek moyang sebelum peradaban sopan santun menjerat orang. Hutan yang dulu keramat dan banyak hantunya, telah ditinggalkan oleh para mahluk halus, karena mulai banyak orang lalu-lalang di situ. Lagi pula Bu Kasno telah membuat perjanjian bahwa mereka yang tidak kelihatan tak akan mengganggu “anak-anaknya”. Pada malam hari rumah itu akan di hiasi lampu-lampu gantung, sekalipun dari luar tampak sunyi, di dalam meriah, banyak orang.

Yang paling gelisah dengan servis Bu Kasno ialah orang-orang sekitar mesjid. Masih banyak yang tahu persis bahwa rumah yang ditempati (mereka tidak sampai hati untuk menyebut rumah bordil apalagi pelacuran, sebab itu akan menyakitkan hati mereka sendiri) ialah bekas milik Jokaryo yang dulu untuk surau. Tetapi tidak ada cara menyalurkan kegelisahan. Menggugat ke desa hanya mengingatkan orang akan “luka-luka” lama. Kekhawatiran mereka akan kegagalan memang beralasan, sebab banyak aparat desa telah menjadi pelanggan Bu Kasno. Kalau berhasil akan beruntung, kalau gagal akan buntung selamanya.

Di antara orang yang paling gelisah ialah Ustadz Yulianto Ismail. Dia telah datang jauh-jauh dari sebuah pesantren, tinggal disitu untuk mengajar, nyaris tanpa gaji, dan menghadapi tantangan yang begitu berat. Dia merasa bertanggung jawab. Dan susahnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Demikianlah usaha itu berjalan bertahun-tahun tanpa gangguan. Bu Kasno pun menjadi kaya. Dari rumah bamboo (orang menggambarkan rumah Bu Kasno yang dulu ibarat sarng laba-laba yang akan terbang oleh angina dan akan hanyut oleh hujan) telah menjadi rumah tembok (orang desa bilang rumahnya sekarang magrong-magrong, megah). Selain itu, Bu Kasno juga punya tiga buah colt yang menghubungkan desa pelosok itu dengan kota.

Akhirnya, jalan itu ditemukan oleh Ustadz Yulianto. Bu Kasno kematian suaminya, dan orang-orang desa menghubungkan kematian suami dengan kekayaan Bu Kasno. Dikabarkan, kematian itu termasuk dalam perjanjian dengan perewangan. Bu Kasno mengumumkan usahanya akan ditutup selama seminggu, selama tujuh hari penuh rumah ditengah hutan akan ditutup sama sekali. Untuk melaksanakan rencananya, Yulianto harus bekerja sendirian, sebab ini pekerjaan rahasia. Dengan sepeda sudah ditelitinya bahwa rumah itu sama sekali kosong, tidak seorangpun menjaga, hanya satu lampu minyak yang tetap dinyalakan di depan. Apa yang akan dikerjakan Yulianto? Membakar rumah alias surau bekas peninggalan Jokaryo ialah pekerjaan utama seorrang ustadz! Itu berarti nahi `anil munkar, mencegah kejahatan. 

Demikiankah pada lepas tengah malam Yulianto keluar membawa sepedanya. Ditangannya ada minyak tanah dalam kaleng plastic. Penduduk desa itu sudah tertidur karena lelah setelah tiga malam berturut-turut gaple di rumah Bu Kasno. Jadi tidak seorangpun akan menjadi saksi perbuatan ustadz itu. Ia keluar dari desa ketika terdengar seekor ayam jantan berkokok. Kata orang desa, ada jago berkokok tengah malam begitu berarti ada janda mengandung. Yulianto melihat jam tangan dengan korek api begitu ia memasuki kawasan hutan: pukul dua. Hutan itu sunyi, gelap, pohon-pohon jati berdiri kaku. Dengan ketetapan penuh dan semangat bernyala-nyala Yulianto mengayuh sepedanya. Ia menyandarkan sepedanya di pohon, syukurlah tidak ada orang. Bahkan mungkin bintang dan angina pun tertidur. Dia mulai menuangkan minyak pada dinding-dinding dari bamboo dan tiang dari kayu. Pekerjaan itu belum pernah dilakukannya, seumur hidup dan baru sekali, namun ia mengerjakan dengan sempurna. Sekarang ia mengeluarkan korek dan berdoa sebentar.

Dinyalakannya korek itu. Dinding bamboo menyambut api. Setelah yakin akan hasil kerjanya, usaha ini tidak boleh gagal, Yulianto menarik sepedanya dan kembali memasuki desa. Dia mencoba tidur, tapi sampai subuh tiba, badannya hanya miring ke kanan dan ke kiri. Ketika subuh tiba, dia mengambil wudhu, orang lain telah mendahului adzan.

Selesai sembahyang, seseorang berkata,”Ustadz, rumah di tengah hutan itu terbakar:.
“Alhamdulillah,” kata orang banyak.Jamaah masjid itu pergi keluar desa untuk melihat apa yang telah terjadi. Banyak orang mengerumuni rumah itu. Api telah padam. Orang mulai bergerak maju melihat apa yang tertinggal. Tiba-tiba seorang berteriak,”ada orang disini!” Orang pun mulai mengeluarkan mayat dari reruntuhan.
“Dua orang!” Orang menemukan dua mayat.
“Satu laki-laki, satu perempuan!”
Rasanya mereka kenal betul dengan yang perempuan. Kerumunan itu disibakkan oleh seorang perempuan yang segera menubruk mayat.
“Oalah, nduk. Begitu besar tekadmu. Maafkanlah ibumu ini!”
Tahulah orang bahwa mayat perempuan itu adalah gadis dusun itu, dan mayat laki-laki adalah pemuda dari dusun di utara pematang.

Orang tua gadis itu melarang mereka berhubungan. Mereka telah terbakar di tempat itu waktu berpacaran. Orang-orang berpikir mereka sengaja bunuh diri bersama. Dari kerumunan muncul Ustadz yang memandangi dengan nanar pada dua mayat. “Astaghfirullah,” katanya, kemudian terjatuh tak sadar.

Yogyakarta, 25 Mei 1996

Contact Us

Name

Email *

Message *