CERPEN "RUMAH YANG TERBAKAR" KARYA KUNTOWIJOYO

RUMAH YANG TERBAKAR
Karya Kuntowijoyo



Ada dua pantangan yang tak boleh di langgar di dusun pinggir hutan itu. Kata orang, mahluk halus yang menunggu dusun, mbaurekso, akan marah bila ada yang berani menerjang larangan. Kemarahan tidak hanya ditimpakan pada pelanggarnya, tetapi pada seluruh warga. Tidak seorangpun, kecuali yang berani nyerempet-nyerempet bahaya melanggarnya. Itupun dengan resiko dikucilkan oleh penduduk. Pantangan pertama ialah orang tak boleh kawin dengan orang dari dusun di dekatnya, dusun yang terletak di sebelah utara pematang, meskipun secara administrative masuk dalam kelurahanyang sama. Kedua, orang tidak boleh mendirikan surau di dusun itu.


Pantangan pertama bisa dimengerti karena ada perbedaan pekerjaan. Di sebelah selatan adalah petani, sedang di sebelah utara adalah pedagang. Engkau tak akan berbahagia kawin dengan orang pelit, apa-apa dihitung, kata orang-orang tua. Pantangan yang kedua ada hubungannya dengan yang pertama. Dulu perbedaan pekerjaan itu telah menyebabkan perang antar desa. Karena itu orang selatan harus berbeda dengan orang utara dalam segala hal. Memakai bahasa sekarang, orang akan bilang “harus punya jati diri”. Kebetulan dusun di utara itu adalah dusun santri dan mau tidak mau orang selatan harus jadi abangan.


Demikianlah, untuk menyambut kelahiran bayi orang-orang utara akan slawatan dan orang selatan klenengan. Perbedaan itu dulu konon jadi serius katika Pak Jokaryo (orang arab akan menyebutnya Zakaria ) dari dusun itu tiba-tiba jadi santri. Dia ingin mendirikan surau di pekarangannya. Tentu saja itu membuat marah besar danyang dusun. Kabarnya umpamanya suatu hari sebuah tiang selesai dibangun, pagi harinya tiang itu sudah pindah ke tengah hutan. Kalau suatu hari dinding-dinding telah dibuat, pagi hari dinding akan terlihat di tepi sungai. Seseorang yang kesurupan danyang dusun mengatakan bahwa surau boleh dibangun, tetapi di luar desa, di tengah hutan yang wingit, tidak boleh ada mihrab, bangunan yang menonjol tempat imam itu, jadi seperti rumah biasa. Orang harus percaya bahwa yang nyurupi adalah danyang desa. Bagaimana tidak. Yang kerasukan itu adalah petani-petani, yang tidak pernah makan sekolahan, tidak tahu pa-bengkong-nya kraton, tapi bahasa jawa kawinya bagus, lengkap dengan sira (“engkau”) dan ingsun (“aku”). Jokaryo pun mengalah, dan membangun surau tidak di desa, tapi di tengah hutan. Sehabis maghrib mereka bertemu, bersama-sama berdzikir sampai malam. Semacam gerakan tarekat.

Rupanya tidak ada penerus Jokaryo, ketika dia meninggal surau itu dikosongkan. Kalau orang berkendaraan atau jalan melewati hutan itu orang akan melihat rumah dari kayu dan bamboo itu. Tetapi tentu saja rumah itu sudah berubah fungsi. Anak laki-laki Jokaryo ikut transmigrasi ke Kalimantan dan anak-anak perempuannya kawin, pindah desa. Di dusun itu tanah dan rumah yang ditinggalkan jadi milik dusun, dan siapa saja dapat memanfaatkan. Kira-kira selama lima belas tahun, rumah itu hanya dimanfaatkan untuk berteduh petani, pencari kayu, dan pejalan yang kelelahan. Ada gentong tempat air dan siwur untuk mengambil air. Malam hari orang yang lewat akan takut, sebab kata orang dusun rumah yang tak berpenghuni akan ditempati sebangsa lelembut, apalagi hutan itu dikenal keramat.
Rumah itu begitu telantar, genting-gentingnya pecah. Maka datanglah Bu Kasno sebagai penyelamat. Dia mengganti genting-genting yang pecah, kayu-kayu yang lapuk, dan dinding-dinding yang menganga. Beberapa dicatnya. Pendek kata, orang yang lewat dan tidak tahu riwayat akan mengira itu rumah baru. Kata orang Bu Kasno berbuat itu karena perewangannya mengatakan bahwa syaratnya menjadi kaya ialah memperbaiki rumah itu. Rumah itu dibuat ramai kembali oleh Bu Kasno. Mula-mula orang-orang dusun berterima kasih pada Bu Kasno. Tetapi, tidak semua orang bergembira dengan “kebaikan hati” Bu Kasno. Rumah itu jadi aib dusun! Sekaligus membuat dusun kecil itu terkenal!

Bagaimana tidak terkenal, Bu Kasno telah menyulap banguna tua di tengah hutan itu jadi tempat yang hidup di malam hari. Rumah itu telah menjadi semacam pulau kebebasan yang terlengkap di dunia: ada tempat minum-minum, ada bordil. Pikiran untuk menjadikan rumah itu sebagai tempat judi juga, selalu dibuang jauh oleh Bu Kasno karena ia segan berurusan dengan polisi. Kabarnya perewangan pun setuju dengan kebijakan Bu Kasno.

Orang-orang dusun itu terbagi tiga. Yang tidak setuju dengan Bu Kasno berpikir bahwa tidak nglakoni (“ menjalankan syariat”) itu boleh-boleh saja, tapi tidak ada caranya untuk pergi ke perempuan nakal. Itu tidak sesuai dengan ajaran adapt manapun, tidak cocok dengan agama manapun. Perempuan tiu boleh asal yang baik-baik perempuan rumahan masih ada, mosok cari yang murahan. Mereka yang setuju dengan Bu Kasno berpendapat bahwa ia telah menyuguhkan hiburan yang paling top di dunia. Orang jawa itu harus ja dan wa, harus nglegena artinya telanjang, apa adanya, sewajarnya, tidak boleh mengatakan tidak butuh padahal memerlukan. Petani harus jadi petani, jangan berpura-pura jadi santri, tidak ada gunanya pura-pura alim.

Minum dan perempuan itu tidak dilarang oleh undang-undang. Yang bisa dihukum itu memperkosa, tetapi tidak hubungan yang suka-sama-suka. Sebagian kecil orang, terutama yang di sekitar masjid (tidak ada yang tahu kenapa akhirnya yang mbaurekso pun mentolerir pembangunan mesjid), sangat tidak setuju dengan ulah Bu Kasno. Mereka berpendapat itu telah mencoreng muka sendiri.

Orang-orang desa pun bertambah maju. Mereka juga tahu tentang cara-cara modern untuk menikmati servis yang disediakan Bu kasno itu. Begini: mula-mula minum, lalu ngamar. Minum menjadikan badan panas dan orang yang paling pemalu pun akan jadi pemberani, hilang sekat-sekat. Jangan terbalik. Atau, kalau terang bulan, minum sekadarnya lalu ajak salah seorang penghuni untuk jalan-jalan di hutan. Dan disanalah rumah yang paling alami, mungkin sama seperti nenek moyang sebelum peradaban sopan santun menjerat orang. Hutan yang dulu keramat dan banyak hantunya, telah ditinggalkan oleh para mahluk halus, karena mulai banyak orang lalu-lalang di situ. Lagi pula Bu Kasno telah membuat perjanjian bahwa mereka yang tidak kelihatan tak akan mengganggu “anak-anaknya”. Pada malam hari rumah itu akan di hiasi lampu-lampu gantung, sekalipun dari luar tampak sunyi, di dalam meriah, banyak orang.

Yang paling gelisah dengan servis Bu Kasno ialah orang-orang sekitar mesjid. Masih banyak yang tahu persis bahwa rumah yang ditempati (mereka tidak sampai hati untuk menyebut rumah bordil apalagi pelacuran, sebab itu akan menyakitkan hati mereka sendiri) ialah bekas milik Jokaryo yang dulu untuk surau. Tetapi tidak ada cara menyalurkan kegelisahan. Menggugat ke desa hanya mengingatkan orang akan “luka-luka” lama. Kekhawatiran mereka akan kegagalan memang beralasan, sebab banyak aparat desa telah menjadi pelanggan Bu Kasno. Kalau berhasil akan beruntung, kalau gagal akan buntung selamanya.

Di antara orang yang paling gelisah ialah Ustadz Yulianto Ismail. Dia telah datang jauh-jauh dari sebuah pesantren, tinggal disitu untuk mengajar, nyaris tanpa gaji, dan menghadapi tantangan yang begitu berat. Dia merasa bertanggung jawab. Dan susahnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Demikianlah usaha itu berjalan bertahun-tahun tanpa gangguan. Bu Kasno pun menjadi kaya. Dari rumah bamboo (orang menggambarkan rumah Bu Kasno yang dulu ibarat sarng laba-laba yang akan terbang oleh angina dan akan hanyut oleh hujan) telah menjadi rumah tembok (orang desa bilang rumahnya sekarang magrong-magrong, megah). Selain itu, Bu Kasno juga punya tiga buah colt yang menghubungkan desa pelosok itu dengan kota.

Akhirnya, jalan itu ditemukan oleh Ustadz Yulianto. Bu Kasno kematian suaminya, dan orang-orang desa menghubungkan kematian suami dengan kekayaan Bu Kasno. Dikabarkan, kematian itu termasuk dalam perjanjian dengan perewangan. Bu Kasno mengumumkan usahanya akan ditutup selama seminggu, selama tujuh hari penuh rumah ditengah hutan akan ditutup sama sekali. Untuk melaksanakan rencananya, Yulianto harus bekerja sendirian, sebab ini pekerjaan rahasia. Dengan sepeda sudah ditelitinya bahwa rumah itu sama sekali kosong, tidak seorangpun menjaga, hanya satu lampu minyak yang tetap dinyalakan di depan. Apa yang akan dikerjakan Yulianto? Membakar rumah alias surau bekas peninggalan Jokaryo ialah pekerjaan utama seorrang ustadz! Itu berarti nahi `anil munkar, mencegah kejahatan. 

Demikiankah pada lepas tengah malam Yulianto keluar membawa sepedanya. Ditangannya ada minyak tanah dalam kaleng plastic. Penduduk desa itu sudah tertidur karena lelah setelah tiga malam berturut-turut gaple di rumah Bu Kasno. Jadi tidak seorangpun akan menjadi saksi perbuatan ustadz itu. Ia keluar dari desa ketika terdengar seekor ayam jantan berkokok. Kata orang desa, ada jago berkokok tengah malam begitu berarti ada janda mengandung. Yulianto melihat jam tangan dengan korek api begitu ia memasuki kawasan hutan: pukul dua. Hutan itu sunyi, gelap, pohon-pohon jati berdiri kaku. Dengan ketetapan penuh dan semangat bernyala-nyala Yulianto mengayuh sepedanya. Ia menyandarkan sepedanya di pohon, syukurlah tidak ada orang. Bahkan mungkin bintang dan angina pun tertidur. Dia mulai menuangkan minyak pada dinding-dinding dari bamboo dan tiang dari kayu. Pekerjaan itu belum pernah dilakukannya, seumur hidup dan baru sekali, namun ia mengerjakan dengan sempurna. Sekarang ia mengeluarkan korek dan berdoa sebentar.

Dinyalakannya korek itu. Dinding bamboo menyambut api. Setelah yakin akan hasil kerjanya, usaha ini tidak boleh gagal, Yulianto menarik sepedanya dan kembali memasuki desa. Dia mencoba tidur, tapi sampai subuh tiba, badannya hanya miring ke kanan dan ke kiri. Ketika subuh tiba, dia mengambil wudhu, orang lain telah mendahului adzan.

Selesai sembahyang, seseorang berkata,”Ustadz, rumah di tengah hutan itu terbakar:.
“Alhamdulillah,” kata orang banyak.Jamaah masjid itu pergi keluar desa untuk melihat apa yang telah terjadi. Banyak orang mengerumuni rumah itu. Api telah padam. Orang mulai bergerak maju melihat apa yang tertinggal. Tiba-tiba seorang berteriak,”ada orang disini!” Orang pun mulai mengeluarkan mayat dari reruntuhan.
“Dua orang!” Orang menemukan dua mayat.
“Satu laki-laki, satu perempuan!”
Rasanya mereka kenal betul dengan yang perempuan. Kerumunan itu disibakkan oleh seorang perempuan yang segera menubruk mayat.
“Oalah, nduk. Begitu besar tekadmu. Maafkanlah ibumu ini!”
Tahulah orang bahwa mayat perempuan itu adalah gadis dusun itu, dan mayat laki-laki adalah pemuda dari dusun di utara pematang.

Orang tua gadis itu melarang mereka berhubungan. Mereka telah terbakar di tempat itu waktu berpacaran. Orang-orang berpikir mereka sengaja bunuh diri bersama. Dari kerumunan muncul Ustadz yang memandangi dengan nanar pada dua mayat. “Astaghfirullah,” katanya, kemudian terjatuh tak sadar.

Yogyakarta, 25 Mei 1996

No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *